Pengamat Soroti Fenomena Kader Parpol Pindah Partai Jelang Pemilihan Umum
Menurutnya, pengunduran diri dari parpol lama tidak cukup hanya dengan surat pengunduran diri secara sepihak atau pribadi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Ali Nurdin, menyoroti fenomena kader partai politik yang tiba-tiba pindah partai menjelang pemilihan umum.
Menurutnya kader yang memilih pindah karena akan mencalonkan diri melalui partai politik lain menandakan lemahnya penegakan etika politik di Indonesia.
"Setiap kader parpol yang akan pindah seharusnya menuntaskan dulu semua urusan di partai lamanya sampai mendapatkan keputusan resmi, baru kemudian melamar ke partai politik lain," ujarnya kepada Tribunnews.com, Jumat (12/5/2023).
Menurutnya, pengunduran diri dari parpol lama tidak cukup hanya dengan surat pengunduran diri secara sepihak atau pribadi, namun surat tersebut setidaknya harus mendapatkan persetujuan resmi dari pimpinan parpol yang bersangkutan.
"Jika kader tersebut duduk dalam jabatan politik semisal DPR, DPRD atau Kepala Daerah, maka pengunduran dirinya baru tuntas setelah ada surat keputusan dari institusi yang berwenang," katanya.
Ia menambahkan, sesuai aturan yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentian anggota DPR dan Kepala Daerah berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota melalui SK Mendagri dan SK Gubernur.
Begitu pun partai politik yang akan menerima mantan anggota partai lain, menurutnya, seharusnya mempersyaratkan keputusan pemberhentian resmi dari partai politik yang lama.
Baca juga: Sebut Menteri Daftar Caleg Hal Biasa, Pengamat: Itu Strategi Politik Setiap Partai
"Bahkan sebaiknya ada masa jeda, misalnya selama satu tahun, di mana mantan anggota partai politik yang satu tidak bisa serta merta pindah ke parpol lain seketika itu juga."
“Kalau dalam pernikahan secara Islam, istilahnya ada masa idah, di mana seorang janda tidak bisa serta merta menikah lagi sebelum melewati masa idah 100 hari,” katanya.
Tujuan masa jeda ini guna memastikan bahwa seorang kader atau pengurus parpol yang berniat pindah sudah menuntaskan semua urusannya di partai yg lama, baru kemudian dia memutuskan untuk berpindah partai lain.
Ali menilai sangat tidak etis seorang kader parpol yang duduk di jabatan publik dan menyatakan pindah ke partai lain, sementara selama proses kepindahan tersebut ia masih menerima fasilitas publik semisal gaji dan tunjangan.
Parpol hanya dianggap sebatas kendaraan untuk mengantarkan mereka ke jabatan politik.
“Kader kutu loncat itu orientasinya jelas hanya mengejar kekuasaan. Mereka tidak punya ikatan emosional apalagi ikatan ideologis dengan partainya,” jelas Ali.