25 Tahun Reformasi, Indonesia Disebut Butuh Model Kepemimpinan Baru
Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengatakan, enam agenda reformasi tidak berjalan dengan baik dan justru mengalami regresi.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengatakan, enam agenda reformasi tidak berjalan dengan baik dan justru mengalami regresi.
Hal itu disampaikannya dalam Webinar Evaluasi 25 Tahun Reformasi yang digelar Gerakan Bersama Indonesia, Rabu (17/5/2023).
"10 tahun terakhir agenda reformasi justru mengalami regresi bahkan kemunduran yang sangat tajam. Kalau diurut agenda reformasi, mulai dari penegakan hukum, pemberantasan KKN, praktik penegakan hukum sampai otonomi daerah seperti mengalami pembalikan. Bahkan sekarang korupsi dan nepotisme berjalan lebih buruk, masif, vulgar dan primitif," kata Sudirman.
Dari sisi demokratisasi yang merupakan semangat utama reformasi, Sudirman Said menyoroti demokrasi mengalami kemunduran.
"Kita menyaksikan bahwa demokrasi yang semestinya memberikan kebebasan pada rakyat, dibajak politik uang sehingga yang muncul sebagai pemimpin bukan putra-putri terbaik seperti yang dicita-citakan demokrasi," ujarnya.
"Padahal seharusnya demokrasi melahirkan meritokrasi, siapa yang unggul jadi pemimpin, sekarang yang terpilih yang punya uang, akibatnya vote buying muncul dimana-mana," lanjut Sudirman.
Menurut Sudirman mengutip Nurcholis Madjid, reformasi adalah siklus 20 tahunan dalam putaran sejarah.
Maka ketika lebih dari 20 tahun pasca reformasi tidak terjadi perubahan yang lebih baik, harus ada babak sejarah baru untuk mengubah situasi bangsa menjadi lebih baik.
Dan peran itu menurutnya harus diambil oleh generasi hari ini, Milenial dan Generasi Z.
Sementara menurut Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Melki Sedek Huang mewakili generasi Z, reformasi telah gagal total.
“Reformasi 1998 gagal total karena tuntutannya tidak mampu kita penuhi. Ketika ia tidak mampu kita penuhi,kita harus mencari substansi baru untuk diwujudkan dalam reformasi versi kita sendiri,” ucap Melki.
Melki menyebut perlu ada reformasi 2.0 dengan substansi baru yang sesuai dengan kepentingan anak muda.
Terlebih milenial dan generasi Z bakal menjadi penentu dalam pemilihan umum mendatang sebagai mayoritas pemilih.
Baca juga: Sudirman Said Sebut Publik Khawatir Terjadi Intimidasi Hingga Intervensi Pemerintah di Pemilu 2024
“Gen Z sangat suka dengan isu lingkungan, pendidikan kesehatan dan sebagainya. sekarang cari ada tidak politisi yang membicarakan politik hijau? bagaimana pendidikan Indonesia harus ditransformasi? bagaimana orang bisa berobat gratis substansinya harus bagaimana? nyatanya tidak ada,” ujar Melki.
Ekonom Senior Awalil Rizky menyebut kondisi perekonomian di Indonesia tak membaik secara signifikan dalam 25 tahun terakhir.
Hal itu tergambar dari jumlah penduduk miskin yang masih tinggi diikuti ketimpangan ekonomi yang terus meningkat signifikan.
“Selama 3 dekade, terjadi pengurangan kemiskinan hanya 7,65 juta penduduk, masih ada 26 juta penduduk miskin. Kebayang tidak sebuah bangsa membangun ekonominya selama 3 dekade mengurangi penduduk miskin hanya segitu?" ujar Awalil.
Sementara Co-Founder Bersama Indonesia, Taufik Riyadi menyebut upaya pemerintah dalam memperbaiki kondisi perekonomian hanya fokus pada pertumbuhan. Parahnya, upaya tersebut tidak dilakukan secara demokratis dan partisipatif terlihat dari perumusan UU Cipta Kerja.
“Kita memang butuh investasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi kita juga butuh partisipasi publik. RUU-nya kita tidak pernah diajak diskusi dan berdialog, kita dipaksa harus menerima hidangan tersebut, menurut saya ada ketidakadilan di sana” kata Taufik.
Di era media sosial, menurut Peneliti Ipsos yang juga aktivis 1998, Sukma Widyanti, pemimpin bisa mendengar secara langsung suara rakyat lewat medsos terutama suara generasi Z.
Sukma memaparkan data dari Ipsos bahwa mayoritas generasi Z peduli terhadap isu politik, pendidikan, kesehatan dan kesehatan.
Baca juga: Lanjutkan Cita-cita Reformasi, Ratusan Aktivis akan Dirikan Yayasan 98 Peduli
“Gen Z adalah kelompok sosial paling penting jika bicara masa depan Indonesia ke depan. Mereka menganggap politik itu penting. Dan isu politik, pendidikan, kesehatan dan lingkungan menjadi isu yang paling banyak dibicarakan Gen Z di media sosial. Maka pemimpin ke depan harus memprioritaskan hal itu, bukan semaunya sendiri,” tandas Sukma.