Mahkamah Konstitusi Tunda Sidang Uji Materiil UU Kejaksaan
(MK) menunda sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Senin (22/5/2023)
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Senin (22/5/2023).
Sidang dengan perkara nomor 30/PUU-XXI/2023 ini menguji Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan.
Ketua MK Anwar Usman memimpin sidang lanjutan yang beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden presiden.
Namun karena pihak terkait belum menyiapkan materi yang ingin disampaikan, akhirnya mahkamah memutuskan menunda sidang tersebut.
“Karena kuasa DPR dan pemerintah belum siap dengan jawabannya, maka sidang harus ditunda maka sidang harus ditunda pada Senin 5/6/2023 dengan agenda mendengar keterangan DPR dan presiden,” kata Anwar Usman di hadapan 8 hakim konstitusi lainnya.
Pada sidang itu, perwakilan presiden dan DPR hadir secara langsung. Hanya saja, pemohon dan kuasa hukumnya mengikuti persidangan secara daring.
Hakim konstitusi Suhartoyo sebagai hakim panel pun meminta klarifikasi terkait kehadiran virtual pemohon lantaran panitera mahkamah menyebut belum menerima informasi.
“Minta klarifikasi sudah mengajukan sidang online atau belum?” tanya Suhartoyo.
“Sudah dan telah diterima dua hari lalu,” jawab pemohon.
Adapun uji materiil Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai.
Pada sidang terdahulu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS.
Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan.
Berikutnya, Pemohon juga memohonkan agar Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances.
Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum di Indonesia.
Baca juga: DPR Minta MK Tolak Permohonan Uji Materiil UU Kejaksaan Tipikor dan KPK
Menurut Pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung.
Padahal, kata Yovi, Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karir sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1 – 2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa.
Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.
Pada sidang kedua dengan agenda penyampaian perbaikan permohonan, Pemohon melalui Welly Anggara selaku kuasa hukum menyebutkan hal-hal yang telah diperbaiki pada permohonannya.
Yaitu, penambahan penjelasan tidak nebis en idem terhadap permohonan yang diujikan dengan permohonan terdahulu yakni objek permohonan yang berbeda sebagaimana.
Berikutnya dalil legal standing bahwa Pemohon tidak perlu meminta persetujuan pimpinan tempat dirinya bekerja.
Sebab Pemohon juga merupakan perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional.
Sementara perbaikan berikutnya, Pemohon menambahkan alasan bahaya jaksa agung dijabat oleh anggota partai politik atau mantan anggota partai politik.
“Jaksa melaksanakan tugas secara mandiri tanpa pengaruh kekuasaan termasuk adanya pengaruh partai politik, sehingga terdapat hal wajar jika ketentuan ini dipertanyakan. Bahaya ini terutama atas independensi seorang jaksa agung dalam memangani perkara-perkara tindak pidana korupsi misalnya,” jelas Alfin Julian Nanda (kuasa hukum Pemohon) yang menghadiri persidangan secara daring dengan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.