Firli Bahuri Cs Berpeluang Dijemput Paksa Ombudsman Buntut Tolak Hadiri Pemeriksaan
Ombudsman RI membuka peluang jemput paksa Ketua KPK Firli Bahuri dkk karena menolak diperiksa terkait dugaan pelanggaran maladministrasi.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan kewenangan Ombudsman RI terkait pemanggilan Firli Bahuri dkk atas dugaan maladministrasi terkait pemberhentian dengan hormat Brigjen Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
Brigjen Endar sebelumnya melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri, Sekretaris Jenderal Cahya Hardianto Harefa, dan Kepala Biro SDM Zuraida Retno Pamungkas ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi terkait pemberhentian dengan hormat dirinya sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
Laporan ini diajukan lantaran Endar menilai terdapat perbuatan maladministrasi yang dilakukan terlapor dalam bentuk perbuatan melawan hukum, melampaui kewenangan, penggunaan wewenang untuk tujuan lain serta pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam laporan dimaksud, Endar menekankan ada pola intervensi independensi penegakan hukum yang berulang, melalui pola yang sama yakni pemberhentian atau pemecatan orang yang berupaya menegakkan hukum dan melakukan pemberantasan korupsi.
Baca juga: Firli Bahuri dan Sekjen KPK Tolak Panggilan Ombudsman, Pakar: Harusnya Pejabat Patuhi Hukum
Atas laporan yang diajukan Brigjen Endar itu, Ombudsman RI kemudian mengirim surat pemanggilan kepada Firli pada 11 Mei 2023.
Dalam surat disertakan dokumen pendukung pemanggilan.
Pada 17 Mei 2023, KPK mengirimkan surat balasan yang berbunyi, menghargai panggilan Ombudsman dan meminta waktu untuk mempelajari surat pemanggilan serta dokumen pendukung.
Ombudsman kemudian mengirimkan surat kepada Cahya selaku sekjen KPK, yang kemudian dibalas pada 22 Mei 2023.
Baca juga: KPK Tolak Klarifikasi ke Ombudsman soal Brigjen Endar: Tak Termasuk Ranah Pelayanan Publik
Dalam surat balasannya, Cahya mempertanyakan wewenang ombudsman menindaklanjuti laporan dari Endar.
Ombudsman RI mengaku kaget membaca surat jawaban KPK itu.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan selama ini tidak ada lembaga apalagi lembaga tersebut dalam posisi terlapor yang mempertanyakan kewenangan Ombudsman.
Menurutnya pertanyaan KPK sama saja dengan mempertanyakan maksud Presiden dan DPR yang membentuk UU Ombudsman.
"Tidak ada lembaga apalagi dalam posisi terlapor mempertanyakan kewenangan. Ini sama dengan yang bersangkutan mempertanyakan presiden dan DPR yang membentuk UU Ombudsman," kata Robert dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Selasa (30/5/2023).
Baca juga: KPK Khawatir Ombudsman Salahi Wewenang. Robert: Luar Biasa Kami Dikuliahi Lembaga Terlapor
Robert menegaskan bahwa Ombudsman RI bekerja bukan atas kemauan sendiri, tapi karena mandat negara yang tertuang dalam UU di mana pembentuknya adalah Presiden dan DPR.
Sehingga, mempertanyakan kewenangan Ombudsman menurutnya sama saja KPK sedang mempertanyakan apa yang dimandatkan negara kepada Ombudsman.
Sikap KPK yang justru mempertanyakan kewenangan disikapi Ombudsman secara serius.
"Ombudsman bekerja bukan kemauan sendiri, tapi mandat negara, ada perintah UU yang disusun Presiden dan DPR. Sehingga mempertanyakan kewenangan seperti ini sama dengan mempertanyakan mandat negara. Dan ini sesuatu yang sangat serius," ungkap Robert.
KPK pun pada surat yang sama menyatakan secara kelembagaan tidak akan memenuhi dan tak akan menghadiri pemanggilan pemeriksaan Ombudsman dalam kasus Endar.
Robert menilai ada masalah etik serius yang memang terjadi dalam tubuh KPK.
"Dalam konteks antar kelembagaan, dengan pernyataan secara kelembagaan (menyebut) kami tidak akan memenuhi dan tidak akan menghadiri, ini berarti ada problem etik yang juga tidak kalah serius," jelas dia.
Firli Bahuri Cs Berpeluang Dijemput Paksa
Ombudsman RI pun membuka peluang menjemput secara paksa Ketua KPK Firli Bahuri dkk.
Robert Na Endi Jaweng mengatakan upaya jemput paksa itu telah sesuai dengan Pasal 31 Undang-undang nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.
Dalam pasal itu dijelaskan bahwa terlapor yang telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Polri untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.
"Opsi ketiga adalah opsi pemanggilan paksa bila Ombudsman menilai ada unsur kesengajaan apalagi dibuktikan dengan surat tertulis terkait dengan penolakan kehadiran," kata Robert.
Robert menegaskan opsi tersebut akan diambil Ombudsman jika pihaknya menilai KPK secara terang-terangan mempertanyakan kewenangan Ombudsman dalam menangani laporan Endar.
"Ini opsi yang diambil ketika kami menilai ketidakhadiran itu karena unsur kesengajaan apalagi secara terang benderang menyampaikan argumentasi yang justru mempertanyakan kewenangan Ombudsman," ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan ada pula opsi menyampaikan klarifikasi secara tertulis. Opsi itu, kata dia, diambil jika terlapor tidak bisa menghadiri pemanggilan lantaran kerahasiaan identitas maupun tengah berada di tempat yang jauh.
"Ombudsman bisa saja itu hanya dengan proses apakah telepon apakah surat menyurat sejauh Ombudsman memang menilai informasi yang diberikan memenuhi kebutuhan kami, kebutuhan pemeriksaan itu opsi yang bisa diambil," jelasnya.
Kemudian, opsi selanjutnya yakni terlapor tidak menggunakan hak jawab.
Robert mengatakan bahwa Ombudsman akan melakukan konsolidasi untuk menentukan opsi yang akan dipilih terkait dengan pemanggilan Firli Cs.
Respons KPK
Dihubungi terpisah Sekjen KPK Cahya Hardianto menyatakan pemberhentian dengan hormat dan pengembalian Brigjen Endar Priantoro ke Mabes Polri bukan ranah pelayanan publik yang bisa diusut Ombudsman RI
Karena itu, menurut KPK, Ombudsman tidak berwenang memeriksa dugaan maladministrasi terkait hal tersebut.
"Seluruh proses rekrutmen, pengembangan karier hingga purnatugas seorang pegawai merupakan bagian dari manajemen ke-SDM-an dalam suatu organisasi," ujar Cahya. "Demikian halnya pada proses pemberhentian Sdr. Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK yang telah selesai masa tugasnya adalah ranah manajemen ke-SDM-an di KPK, bukan pelayanan publik," katanya.
Cahya menerangkan bila merujuk pada UU 25/2009 maka pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan penyelenggara pelayanan publik.
Sehingga, lanjut Cahya, penyelesaian persoalan terkait Endar memedomani hukum administrasi kepegawaian ataupun pemerintahan sesuai UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang bermuara pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukan di Ombudsman.
Dalam mekanismenya, Cahya mengatakan keputusan KPK diuji berdasarkan aspek wewenang, substansi maupun prosedur apakah terdapat penyalahgunaan wewenang (maladministrasi) baik ditinjau dari peraturan perundang-undangan maupun asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
"Oleh karenanya, atas permintaan klarifikasi oleh Ombudsman kepada KPK tidak bisa dipenuhi karena substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik yang merupakan kewenangan Ombudsman," tegas pejabat teras KPK itu. "Namun, berdasarkan ketentuan perundangan tersebut, pengujian persoalan kepegawaian lebih tepat ranahnya di PTUN," sambung Cahya.
(tribun network/dng/ham/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.