Dissenting Opinion, Hakim Arief Hidayat Usul Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas
Dalam penjelasannya, kata Arief, terdapat beberapa alternatif dalam penetapan calon terpilih berdasarkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu yang dibacakan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (15/6/2023).
Ia juga mengajukan usul untuk menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas sebagai ganti sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini.
Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, Arief tidak membacakan apa yang dimaksudnya dengan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas.
Baca juga: Sekjen PDIP Desak Denny Indrayana Pertanggungjawabkan Ucapannya Soal Putusan MK
Namun demikian, penjelasan Arief mengenai usulan tersebut termuat dalam salinan putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 yang diterima pada Kamis (15/6/2023).
Dalam penjelasannya, kata Arief, terdapat beberapa alternatif dalam penetapan calon terpilih berdasarkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas yang ia usulkan.
Pertama, mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara.
Baca juga: Sikapi Putusan MK, Hasto PDIP Dorong Kader Kedepankan Gotong Royong Dalam Strategi Pemenangan Pemilu
Namun, menurutnya penentuan dan penetapan calon terpilih didasarkan pada daulat partai dengan sistem nomor urut, khusus bagi penentuan kuota 30 persen perempuan dan berdasarkan pada suara terbanyak bagi calon anggota legislatif lainnya.
Sehingga, kata dia, calon anggota legislatif perempuan ditempatkan di
nomor urut kecil.
"Dengan begitu, partai politik memiliki peranan yang penting dan menentukan dalam memilih calon anggota legislatif berkualitas dan masyarakatpun tetap dapat berkontribusi untuk menjaga kualitas calon anggota legislatif," kata Arief dikutip dari salinan putusan Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu yang diterima Kamis (15/6/2023).
Kedua, kata dia, mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara berdasarkan nomor urut.
Namun, menurutnya penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut yang disusun berdasarkan hasil seleksi yang objektif, partisipatif, transparan dan akuntabel.
"Dengan memerhatikan pada nilai potensi, jiwa kepemimpinan, integritas, kerjasama, komunikasi, komitmen kualitas dan perekat bangsa," lanjut dia.
Ketiga, kata dia, mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara berdasarkan nomor urut.
Baca juga: MK Putuskan Sistem Pemilu 2024 Proporsional Terbuka, Begini Tanggapan Mahfud MD hingga Demokrat
Namun, ia menurutnya mekanisme yang digunakan seperti pola penentuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2004, yakni nama calon yang mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih.
Sementara itu, kata dia, nama calon yang tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan.
"Dengan begitu, pola ini tetap memberi ruang bagi masyarakat dalam menentukan wakilnya sepanjang mencapai angka BPP, dan tetap memberikan ruang bagi partai politik menentukan calonnya apabila tidak memenuhi angka BPP," sambung dia.
Selain ketiga varian tersebut, ia juga menawarkan varian lainnya yakni penerapan sistem proporsional tertutup dapat diberlakukan hanya untuk memilih calon anggota DPR RI, sedangkan calon anggota DPRD Provinsi Kabupaten/Kota dipilih berdasarkan sistem proporsional terbuka.
Tiga alternatif penetapan calon anggota legislatif tersebut, kata dia, merupakan opsi bagi penentuan calon anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka terbatas.
Sementara varian keempat, kata dia, penetapan sistem proporsional tertutup dan terbuka secara bersamaan, namun level penerapannya dibedakan.
"Opsi-opsi yang nantinya dipilih diserahkan kepada legal policy pembentuk undang-undang," kata Arief.
Selain itu, ia juga mengemukakan untuk menghindari kesan adanya oligarki dan politik transaksional dalam penentuan calon anggota legislatif oleh partai politik diperlukan beberapa hal.
Pertama, perlunya demokratisasi di dalam struktur partai politik, sehingga pola rekrutmen dan seleksi para calon anggota DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara yang objektif, partisipatif, akuntabel, dan transparan.
Kedua, diperlukan pula penguatan kaderisasi partai politik melalui pendidikan kader yang berjenjang selama minimal tiga tahun untuk calon anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan lima tahun untuk calon anggota DPR RI sehingga calon anggota legislatif yang terpilih betul-betul diusulkan dari proses kaderisasi yang matang.
Hal tersebut, kata dia, juga bertujuan untuk menghindari adanya fenomena “kutu loncat” dalam setiap pencalonan anggota DPR/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga kader-kader partai politik dapat menyerap ideologi partai dengan baik.
"Dengan demikian nantinya akan terpilih anggota legislatif yang benar-benar berasal dari kader-kader terbaik yang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat secara umum dan dapat menjalankan tugas sebagai legislator yang handal," kata Arief.
Sistem Proporsional Tertutup Ditolak
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mahkamah Konstitusi pun membacakan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi sistem pemilu proporsional terbuka, Kamis (15/6/2023).
"Mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis.
Sedangkan, Hakim MK juga menyatakan menolak permohonan para pemohon dengan seluruhnya.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," sambung Anwar Usman.
Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka.
MK menegaskan pertimbangan ini diambil setelah menyimak keterangan para pihak, ahli, saksi dan mencermati fakta persidangan.
Hakim pun membeberkan salah satu pendapatnya terkait sejumlah dalil yang diajukan oleh pemohon. Di mana, Hakim berpendapat bahwa dalil yang disampaikan pemohon terkait money politik dalam proses pencalegan seseorang tidak ada kaitannya dengan sistem Pemilu.
Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem Pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.