AJI Indonesia Desak Pemerintah Transparan soal Pengadaan Alat Sadap Pegasus
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan soal pengadaan alat sadap pegasus.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan soal pengadaan alat sadap pegasus.
AJI Indonesia memandang adanya ancaman serius alat sadap tersebut bagi kerja-kerja jurnalis dan berbagai kelompok kritis lainnya.
Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan laporan dari Forbidden Stories dan Amnesty International mengungkap terjadinya penyalahgunaan alat penyadap yang dinamai pegasus ini.
"Di dalamnya (laporan) berhasil mengungkap penyalahgunaan pegasus ini oleh 18 negara. Ditemukan alat ini menargetkan 50 ribu nomor," kata Ika dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (20/6/2023).
Ika menjelaskan sebagian besar nomor-nomor telepon tersebut bukan milik orang-orang yang terlibat kejahatan.
Tapi sebagian besar adalah justru human right defender, kemudian para oposisi politik, jurnalis, dan juga kelompok kritis lainnya.
Baca juga: Alat Sadap Pegasus Disebut Salah Sasaran Mengintai Masyarakat Sipil hingga Ancam Kerja Jurnalis
Bahkan, ia menyebut ada sekitar 18 jurnalis dari berbagai negara yang menjadi target penyalahgunaan alat intai pegasus.
Ika kemudian mengatakan dalam regulasi di Indonesia, penyadapan itu bisa dilakukan tapi itu untuk penegakan hukum.
"Artinya, ketika kemudian ini disalahgunakan untuk menargetkan orang-orang, kelompok-kelompok yang tidak ada sangkut pautnya terhadap kejahatan tertentu, artinya ada penyalahgunaan terhadap teknologi yang tujuannya tentu tidak hanya memata-matai, tapi menjadi salah satu bentuk pelanggaran terhadap privasi itu sendiri, dan juga ini menjadi hambatan-hambatan serius terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers," kata Ika, dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (20/6/2023).
Oleh karena itu, Ika mengatakan AJI Indonesia menyampaikan sejumlah tuntutan terhadap pemerintah Indonesia.
Pertama, kata Ika, AJI Indonesia mendesak pemerintah menghentikan pengadaan alat sadap pegasus ke depannya.
Kedua, mendesak supaya diumumkan secara transparan melalui tim independen untuk mengungkap tentang pengadaan alat sadap pegasus dan alat serupa lainnya.
"Tidak hanya pegasus mungkin, kita tidak tahu ya entah circle entah pegasus, atau mungkin ada alat lain yg digunakan," ucap Ika.
"Oleh karena itu penting ada tim khusus yang seharusnya ini dibentuk oleh negara untuk menyelidiki, menginvestigasi, dan mengungkap sejauh apa sebenarnya selama ini pengadaan alat-alat pengintaian ini. Seberapa banyak budget yang digunakan, alat-alat ini digunakan di lembaga mana saja. Siapa atau pihak mana yang sudah ditargetkan oleh alat ini dan siapa yang mengawasi alat ini," sambungnya.
"Itu semua harus menjadi temuan dr tim, supaya ini bisa menjadi kajian yg serius ke depannya utk pembuatan kebijakan yg transparan."
Ketiga, Ika melanjutkan pihaknya menuntut adanya peningkatan transparansi dan juga keamanan digital dari perusahaan-perusahaan mobile selular.
"Ini penting karena dengan melihat praktik canggihnya alat pengintaian seperti ini, karena dia tidak membutuhkan ada perantara khusus yang mudah diketahui secara kasat mata. Artinya ada tanggung jawab dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi, produsen telepon selular untuk meningkatkan keamanan digitalnya dengan dia melihat tren teknologi penyadapan yang baru," jelas Ika.
Terakhir, kata Ika, AJI Indonesia menuntut adanya perlindungan terhadap jurnalis dan berbagai kelompok kritis lainnya.
"Menuntut adanya mekanisme perlindungan secara holistik terhadap human right defender, terhadap juga jurnalis, supaya dia atau kelompok-kelompok ini tidak menjadi kelompok yg ditarget dengan berbagai alat-alat pengintaian dan juga pengawasan di ruang digital," tegas Ika Ningtyas selaku Sekjen AJI Indonesia.
Ancaman Besar
Diberitakan sebelumnya, Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan penyalahgunaan alat penyadap pegasus memberikan konsekuensi dan ancaman besar terhadap demokrasi di Indonesia.
"Itu tidak sekadar mengintai, tidak sekadar memata-matai kelompok kritis yang ditargetkan. Tapi itu memberikan konsekuensi yang cukup besar terhadap demokrasi kita," tegas Ika.
Lebih lanjut, Ika mencontohkan kasus pembunuhan terhadap jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, beberapa tahun silam.
"Dia (Jamal) ditarget dengan alat ini, dan akhirnya pada kematian Jamal," kata Ika.
"Kemudian salah satu jurnalis di Maroko, dia juga menjadi target dari alat ini, karena dia cukup kritis untuk mengungkal kasus-kasus korupsi dan juga kejahatan lainnya yang disponsori negara dan ujungnya dia dijebloskan ke penjara," sambungnya.
Ika menegaskan, dari contoh tersebut dapat diartikan bahwa pengintaian dan penyadapan ini berdampak serius terhadap kerja-kerja para jurnalis, khususnya berbagai kelompok kritis.
Bahkan, ia mengungkapkan, alat sadap ini bukan hanya mengancam keselamatan dari jurnalis itu sendiri. Tapi juga memberikan konsekuensi terhadap keluarga, kolega, ataupun teman kolega jurnalis yang ditargetkan untuk disadap.
"Nah ketika alat inu menyadap kita, konsekuensinya bukan pada kita pribadi, tapi pada keluarga, anak-anak kita juga akan terancam. Yang kedua, narasumber kita, pada dokumen-dokumen, sumber-sumber yang sudah kita dapatkan untuk mengungkap berbagai kejahatan itu. Kepada kolega kita, kepada teman-teman kolega pekerjaan kita ya di media ataupun teman-teman di organisasi dan sebagainya. Dampaknya sampai pada masyarakat juga," ungkapnya.
Tentang Alat Sadap Pegasus
Alat sadap Pegasus saat ini menjadi perangkat yang disebut-sebut dapat mengancam sistem demokrasi suatu negara.
Pasalnya, alat ini mampu membuka perangkat telepon seluler atau ponsel seseorang dengan tanpa diketahui pemiliknya.
Perangkat ini tentu mengaburkan prinsip privasi yang selayaknya dimiliki pengguna layanan telekomunikasi.
Lantas, apa itu alat sadap Pegasus?
Dilansir Kompas.com, spyware atau perangkat lunak berbahaya Pegasus ini merupakan buatan perusahaan Israel.
Diduga software ini digunakan beberapa di seluruh dunia untuk memata-matai ponsel para aktivis, jurnalis, eksekutif perusahaan, bahkan juga politisi.
Para peneliti percaya bahwa versi awal dari spyware ini pertama kali terdeteksi pada 2016.
Yakni diawali berupa pesan teks jebakan untuk menginstal dirinya sendiri ke ponsel target.
Penerima harus mengeklik tautan dalam pesan agar spyware terunduh.
Namun kini caranya lebih canggih.
Dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group, spyware bisa masuk ke ponsel tanpa diduga oleh penggunanya.
Pada 2019, WhatsApp pernah menggugat NSO karena menyelipkan spyware ke sekitar 1.400 ponsel dengan memanfaatkan aplikasi perpesanan tersebut.
Dikatakan bahwa hanya dengan menelepon target lewat WhatsApp, Pegasus diam-diam dapat mengunduh dirinya sendiri ke ponsel.
Bahkan jika target tidak mengangkat panggilan itu pun bisa tiba-tiba terunduh.
Kini Pegasus dilaporkan memanfaatkan kelemahan perangkat lunak iMessage Apple yang berpotensi memberinya akses ke 1 miliar iPhone.
Profesor keamanan siber di University of Surrey di Inggris, Alan Woodward mengatakan, Pegasus mungkin adalah salah satu alat akses jarak jauh yang paling mumpuni, seolah-olah target telah memberikan ponsel ke tangan orang lain.
Pegasus dapat digunakan untuk membaca pesan dan e-mail target, melihat-lihat foto yang mereka ambil, menyadap telepon, melacak lokasi, dan bahkan merekam dari kamera.
Pegasus mengalami perkembangan sehingga mampu menyembunyikan semua jejak perangkat lunak.
Target pun kesulitan untuk mengkonfirmasi apakah ponsel tertentu telah disadap atau tidak.
Hingga kini belum diketahui pasti berapa banyak orang yang ponselnya disadap.
Dari laporan baru oleh media internasional mengatakan lebih dari 50.000 nomor telepon menjadi target.
Namun, Lab Keamanan Amnesty International, salah satu organisasi yang menyelidiki Pegasus, mengaku telah menemukan jejak serangan sukses pada iPhone Juli 2021.
Apple dan Google bahkan menawarkan hadiah kepada peretas, jika memberitahu kekurangan perangkat lunaknya.
Para analis juga percaya, NSO yang stafnya termasuk mantan anggota elite militer Israel, kemungkinan mengawasi dark web yakni tempat hacker sering menjual informasi tentang kelemahan keamanan yang mereka temukan.
Mengutip Nextren.grid.id, penelitian sebelumnya telah mencatat bahwa hebatnya software Pegasus memiliki fitur yang disebut 'bunuh diri'.
Yakni suatu sistem yang dapat menonaktifkan penyebaran malware oleh pelanggan.
Menurut NSO, fitur 'bunuh diri' dapat aktif jika target yang dibidik pindah ke negara.
Alat ini mampu mengesankan jika melihat kemampuan software itu beraksi secara langsung.
Cukup beritahu nomor aktifnya, maka semua isi smartphone bisa dilihat, hanya dalam waktu 5 menit saja.