3 Perusahaan Sawit Jadi Tersangka, Pengusaha Ketar-ketir
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menilai kasus hukum yang menjerat 3 anggota Gapki membuat khawatir.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pengusaha atau perusahaan sawit di Indonesia saat ini mengaku sedang khawatir.
Pasalnya ada tiga perusahaan sawit saat ini berurusan tidak pidana yang berdampak akan terganggunya iklim investasi sawit di Indonesia.
Hal tersebut seperti diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono.
Ia mengatakan, kasus hukum yang menjerat tiga anggota Gapki yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group di kasus korupsi minyak goreng membuat khawatir para pengusaha.
“Kami sangat prihatin anggota kami terkena kasus itu. Kok sampai begini? Mereka sudah patuh dan melaksanakan kebijakan pemerintah kok dipidana. Kalau kasus ini terus berlanjut ini bisa berdampak pada terganggunya iklim investasi,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (20/7/2023).
Eddy menjelaskan bahwa sawit dan crude palm oil (CPO) menyumbang devisa sangat besar.
Penegakan hukum harus dilakukan secara hati-hati dan tidak sampai berdampak pada terganggunya bisnis termasuk nasib jutaan buruh dan petani yang bergantung pada sektor ini.
“Semua anggota Gapki itu patuh terhadap kebijakan pemerintah, di mana saat itu kebijakan pemerintah berubah-ubah sangat cepat dan kami patuh terhadap itu. Kalau pemidanaan terus berlanjut, investasi kita tidak kondusif, tidak ada kepastian hukum. Nantinya kami akan jauh lebih hati-hati. Pengusaha akan takut bila ada kebijakan yang berubah-ubah karena ujungnya kami yang disalahkan ketika melaksanakan kebijakan itu,” bebernya.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi minyak goreng terkait pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunnya pada Januari 2021 - Maret 2022.
Terpisah, kuasa hukum para tersangka, Marcella Santoso, menegaskan bahwa tuduhan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada bukti kerugian negara hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Yang terjadi, tuduhan telah terjadi kerugian negara didasarkan pada hasil perhitungan ahli, bukan hasil audit ahli BPK.
“Frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potensial loss,” jelas Marcella.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, mengatakan bahwa kerugian negara akibat kasus izin ekspor CPO berdasarkan keputusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA) yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yakni Rp6,47 triliun.
Lebih lanjut, Marcella menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK baik dalam perkara terdahulu maupun perkara ini dengan korporasi sebagai subjek hukum.
“Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016, hanya BPK yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Bahkan BPKP pun tidak boleh menyatakan ada tidaknya kerugian negara,” ujar Marcella.
Pertimbangan hakim yang terdapat dalam putusan perkara lain, tidak bisa serta-merta digunakan dan dijadikan alat bukti perhitungan kerugian negara.
Baca juga: Kasus CPO, Kejagung Geledah Kantor Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau Group
Marcella menjelaskan bahwa kasus ini bermuara dari kebijakan Kementerian Perdagangan yang bermasalah.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, sebagaimana tertera dalam surat gugatan tanggal 3 Juli 2023.
Objek permohonannya adalah Permendag No. 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng.
Akibat diterbitkannya Permendag itu, tiga perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka itu kehilangan hak untuk mengaih Dana Pembiayaan kepada BPDPKS dikarenakan aturan yang tertuang dalam Permendag No. 6/ 2022 menjadi tidak berlaku.
“Klien kami adalah korban dari kebijakan pemerintah yang tidak proper. Jangankan mendapat untung Akibat perubahan kebijakan itu, klien kami menderita actual loss sebesar Rp1.933.272.463.730,” kata Marcella.