Beri Wadah Untuk Mantan Koruptor, ICW: Parpol Masih Permisif Pada Tindak Pidana Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan partai politik (parpol) masih bersikap permisif pada tindak pidana korupsi.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan partai politik (parpol) masih bersikap permisif pada tindak pidana korupsi.
Hal ini merupakan respons ICW terhadap masih adanya mantan koruptor yang disambut hangat dalam panggung politik Indonesia.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan pemberian fenomena pemberian jabatan di partai politik kepada mantan terpidana korupsi memang bukan hal baru.
Terbaru, mantan terpidana korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, didapuk menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
Sebelumnya, ada Romahurmuziy atau Romy, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus mantan terpidana korupsi dalam kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama.
sejak tahun 2004 hingga 2022, terdapat 521 orang tersangka yang memiliki irisan dengan politik mulai dari anggota legislatif hingga kepala daerah dari total 1.519 tersangka
Romy diketahui divonis 1 tahun penjara dan bebas pada tahun 2020. Ia kemudian kembali ke partai dan diberi jabatan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP.
Kurnia mengatakan jabatan dalam struktur partai politik kepada mantan terpidana korupsi tentunya sangat bertentangan dengan semangat untuk membangun pemerintahan yang bebas dari korupsi.
"Bila dikaitkan secara spesifik dengan visi-misi partai yang menaungi mereka, baik PKN maupun PPP memiliki misi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan meningkatkan kualitas demokrasi," kata Kurnia dalam keterangannya, dikutip Jumat (21/7/2023).
"Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan langkah kedua partai tersebut dengan tetap memberi jabatan struktural kepada mantan koruptor," tuturnya.
Diterimanya kembali mantan koruptor untuk bergabung ke dalam parpol juga mungkin berdampak pada pemahaman internal partai politik untuk mendukung dan memperbolehkan mereka mencalonkan diri pada Pemilihan Legislatif.
Penting ditekankan, tegas Kurnia, pemahaman tersebut keliru dan salah besar, sebab ada masa jeda 5 tahun yang harus dilewati oleh mantan koruptor untuk bisa berkontestasi kembali, sebagaimana mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Nomor 12/PUU-XXI/2023.
Permisifnya partai politik dalam menanggapi mantan koruptor yang bergabung kembali ke struktural partai seolah mengabaikan fakta bahwa korupsi politik kian merajalela di Indonesia.
Baca juga: Erwin Aksa Cabut Laporan Polisi, Romahurmuziy Terima Kasih ke Jusuf Kalla
Data KPK menunjukkan bahwa sejak tahun 2004 hingga 2022, terdapat 521 orang tersangka yang memiliki irisan dengan politik mulai dari anggota legislatif hingga kepala daerah dari total 1.519 tersangka.
"Tak hanya itu, kepercayaan publik terhadap parpol juga diyakini akan memburuk pasca kebijakan kontroversi ini," kata Kurnia.
Padahal, menjelang pemilu 2024, parpol seharusnya memanfaatkan momentum untuk menunjukan komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
"Wujud dari hal tersebut salah satunya dengan menghadirkan kader-kader yang memiliki rekam jejak baik dan bebas dari keterlibatan kasus korupsi," tandasnya.