Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ahli Hukum Tata Negara: Pemerintah Salah Gunakan Perppu, UU Cipta Kerja Layak Dibatalkan

Ahli hukum dan konstitusi Bivitri Susanti mengatakan, pemerintah telah menyalahgunaan Perppu untuk mengegolkan UU Cipta Kerja.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Ahli Hukum Tata Negara: Pemerintah Salah Gunakan Perppu, UU Cipta Kerja Layak Dibatalkan
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum dan konstitusi Bivitri Susanti mengatakan, pemerintah telah menyalahgunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang atau Perppu untuk mengegolkan Undang Undang Cipta Kerja hingga kemudian disahkan di Rapat Paripurna DPR.

Karena itu, menurutnya, pemerintah telah melanggar konstitusi karena pemerintah yang tetap menjalankan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, meski telah dinyatakan inkonstitusional bersyatat oleh MK.

"Jadi memang betul, kalau ada pertanyaan Perppu itu konstitusional, enggak? Ya konstitusional. Memang ada di Pasal 22, tapi disalahgunalan. Disalahgunakannya itu kelihatan dari kenyatannya bahkan sebelum Perppu keluar, UU 11/2023 itu yang dibatalkan MK, itu dilakukan terus menerus," ucap Bivitri.

Ditemu Tribunnews.com usai memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (26/7/2023), dia juga mengatakan, tidak ada kegentingan yang memaksa pemerintah untuk mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang telah disahkan menjadi UU 6/2023.

"Enggak ada (kegentingan memaksa). Jadi itu jadi bagian argumen kami tadi. Dari 25 November 2021 sampai 30 Desember 2022 sebenarnya Perppu itu dijalankan terus kok. Jadi enggak ada kekosongan hukum," jelasnya.

MK Harus Batalkan UU Cipta Kerja

Berita Rekomendasi

Karena itu dia berpandangan, Mahkamah Konstitusi (MK) sangat perlu membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Dengan begitu MK akan menjalankan peran pengawasannya terhadap pembuat UU.

"Tadi kan itu uji formil ya. Jadi ngecek prosedurnya. Jadi tadi saya berargumen bahwa ini UU 6/2023 ini memang sangat lazim atau sangat perlu untuk dibatalkan," kata Bivitri.

Baca juga: Konsisten Tolak UU Cipta Kerja, PKS: Kita Tidak Ingin Buruh jadi Objek Penderita

"Karena sebenarnya dengan begitu MK akan menjalankan peran mereka untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan DPR dalam membuat Undang-Undang," sambungnya.

Sebelumnya, Bivitri Susanti menduga ada skenario politik hukum dalam tujuan ditetapkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Hal tersebut disampaikan ahli Bivitri, dalam sidang uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, beragendakan mendengarkan keterangan saksi dan ahli pemohon perkara 40/PUU-XXI/2023 (VI).

Baca juga: Buruh Tetap Tuntut Cabut UU Cipta Kerja dan Kenaikan Upah Minimum 15 Persen

Dalam keterangannya di persidangan, Bivitri menyinggung pidato Menteri Perekonomian RI Airlangga Hartarto, saat Perppu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dikeluarkan, pada tanggal 30 Desember 2022 lalu.

"Dalam pidato Menteri Perekonomian, ketika Perppu 2 tahun 2022 dikeluarkan, pada 30 Desember 2022. Dikatakan bahwa salah satu argumennya adalah untuk memberikan kepastian hukum," kata Bivitri, saat menyampaikan keterangannya kepada para Hakim Konstitusi, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/7/2023).

Ia kemudian mempertanyakan maksud 'kepastian hukum' yang dinyatakan Menko Perekonomian itu untuk siapa.

Sebab, pada faktanya, menurut Bivitri, terdapat politik hukum dalam UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Pertanyaan konstitusionalnya, kepastian hukum untuk siapa? Karena kenyataannya, post factum, kita bisa melihat adanya politik hukum UU 11 Tahun 2020," ucapnya.

Terkait politik hukum tersebut, Bivitri menyampaikan studi kasus, yakni melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, pada 23 Juni 2023 lalu.

"Pernyataan pada 23 Juni 2023, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa 'pemerintah terpaksa akan memutihkan 3,3 juta hektare kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Langkah tersebut mengacu pada UU Cipta Kerja'," kata Bivitri.

Melalui studi kasus tersebut, Bivitri ingin membuktikan, ada skenario yang terganggu akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XIX/2021, yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

"Artinya memang saya ingin membaca, ada sebuah skenario yang terganggu karena putusan mahkamah, yang bagi kami baik. Tapi bagi sebuah skenario yang disiapkan jauh-jauh hari, putusan mahkamah mungkin terasa mengganggu. Sehingga tetap saja dilaksanakan dengan instruksi mendagri, dengan kebijakan2 lainnya," ujar Bivitri.

Sebagai informasi, sidang uji formil UU Ciptaker ini diikuti oleh para pemohon lainnya, yakni pemohon perkara 41, 46, 50, 40/PUU-XXI/2023.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas