Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

10 Fakta Hari Raya Galungan dan Kuningan Umat Hindu di Bali

Umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma.

Penulis: Widya Lisfianti
Editor: Whiesa Daniswara
zoom-in 10 Fakta Hari Raya Galungan dan Kuningan Umat Hindu di Bali
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Umat Hindu mengikuti persembahyangan saat merayakan Hari Raya Galungan di Pura Amerta Jati Cinere, Depok, Rabu (14/4/2021). Hari Raya Galungan yang merupakan hari merayakan kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) itu diikuti umat Hindu dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran COVID-19. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM - Merujuk kalender Saka Bali, Hari Raya Galungan jatuh pada hari ini, Rabu (2/8/2023).

Lalu 10 hari kemudian, dirayakan Hari Raya Kuningan.

Diberitakan Tribun Bali sebelumnya, umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma.

Ada sejumlah fakta seputar Hari Raya Galungan dan Kuningan, yakni:

1. Dirayakan setiap 210 hari sekali

Hari Raya Galungan dan Kuningan dirayakan setiap 210 hari sekali dengan menggunakan perhitungan kalender Saka Bali atau Pakuwon, dikutip dari laman Institut Bisnis dan Teknologi Indonesia.

Baca juga: 20 Twibbon Hari Raya Galungan dan Kuningan 2023, Dapat Dibagikan di Media Sosial

2. Kuningan dirayakan 10 hari setelah Galungan

Berita Rekomendasi

Umat Hindu percaya, saat Kuningan, Tuhan akan memberikan berkat kepada semua orang yang ada di Bumi ini.

Adapun Hari Raya Kuningan akan dirayakan 10 hari setelah Hari Raya Galungan.

3. Sekolah-sekolah di Bali diliburkan selama sekira 2 minggu

Galungan dan Kuningan di Bali berlangsung selama 10 hari.

Maka dari itu setiap sekolah di Bali diliburkan selama 2 minggu untuk menyambut Galungan dan Kuningan.

4. Makanan khas di perayaan Hari Raya Galungan

Pada saat merayakan Galungan, umat Hindu akan membuat makanan khas seperti Lawar dan Sate.

Lawar - makanan khas Bali
Lawar - makanan khas Bali (freepik)

Baca juga: Resep Hidangan Hari Raya Nyepi, Menu Ayam Betutu dan Lawar Bali

Lawar adalah masakan dari campuran sayuran dan daging ayam, kerbau, babi atau bebek yang di cincang.

Dalam pembuatannya, masyarakat Bali menyebutnya dengan tradisi ngelawar yang diyakini sebagai satu simbol kebersamaan serta gotong royong.

5. Dirayakan secara turun-temurun

Hari Suci Galungan dirayakan umat Hindu secara turun-temurun sejak abad ke-8 Masehi, begitu juga dengan Kuningan.

6. Identik dengan Penjor

Hari Raya Galungan dan Kuningan ditandai dengan penjor yang menjulang tinggi di depan gapura rumah umat Hindu.

Janur kuning ini akan terpasang disepanjang jalan dengan dihiasi oleh daun kelapa, padi, hingga tempat banten atau sesaji.

7. Saat Galungan dan Kuningan, Umat Hindu akan Sembahyang ke Pura

Saat hari raya ini umat Hindu di Bali akan melakukan persembahyangan di pura hingga di sanggah atau merajan masing-masing bersama keluarga dan saudara dengan mengenakan pakaian adat.

8. Nasi Kuning sebagai bentuk persembahan

Saat perayaan Hari Raya Kuningan, umat Hindu akan membuat nasi kuning untuk disajikan dalam persembahan.

Harapannya, nasi kuning ini bisa membawa kemakmuran.

9. Hari Suci ini kecintaannya para wisatawan

Selain sebagai sebuah ritual keagamaan, perayaan hari suci ini ternyata menarik perhatian banyak wisatawan sehingga menjadi daya tarik tersendiri.

Keunikan hari suci ini dapat membuat para wisatawan berbondong-bondong datang ke Bali.

Sehingga Bali tidak hanya diminati karena keindahan alamnya saja, melainkan juga karena kebudayaan dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Bali.

10. Tradisi Gerebeg Mekotek di Desa Adat Munggu

Dikenal sebagai tradisi penolak bala, Grebek Mekotek merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Hindu di Desa Adat Munggu pada Hari Raya Kuningan, atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan.

Dulunya tradisi Mekotek dijadikan sebagai acara penyambutan pasukan Kerajaan Mengwi yang menang perang melawan Kerajaan Blambangan.

Pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1915, tradisi Mekotek sempat dihentikan karena pihak kolonial takut akan ada pemberontakan.

Sayangnya, keputusan itu tidak berbuah baik, karena penduduk terkena wabah penyakit, sehingga akhirnya setelah melalui perundingan yang alot, Mekotek diizinkan untuk digelar kembali.

Tradisi Mekotek dilakukan dengan kayu sepanjang 2,5 meter yang telah dikupas kulitnya.

Masyarakat yang mengikuti tradisi Mekotek akan dibagi menjadi beberapa kelompok.

Kemudian, dari anggota kelompok, akan dipilih orang yang berani sebagai komando untuk memberi aba-aba dari atas puncak piramida tumpukan kayu.

(Tribunnews.com, Widya)(Tribun-Bali, Ratu Ayu Asri Desiani)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas