Mengadu ke DKPP, Masyarakat Sipil Desak Ketua dan Anggota KPU Dicopot Karena Bekerja Tak Sesuai UU
Kelompok masyarakat sipil mengadukan seluruh Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Selasa
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok masyarakat sipil mengadukan seluruh Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Selasa (15/8/2023).
Kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan ini meminta Ketua dan enam Anggota KPU lainnya untuk diganti.
Sebab mereka menilai KPU telah berbohong kepada publik dan bekerja bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, selaku perwakilan yang melapor, menjelaskan kebohongan publik yang dilakukan KPU.
Yakni atas janji KPU yang katanya hendak merevisi Peraturan KPU (PKPU) 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan keterwakilan perempuan.
Namun janji itu tak kunjung ditepati hingga PKPU 10/2023 disahkan.
Hal itu pula lah yang menjadi salah satu laporan aduan koalisi masyarakat sipil ini ke DKPP.
"Kami menganggap bentuk kebijakan yang diambil ini sudah sangat serius dan penyelenggara pemilu kita ini tidak bisa menjadi penyelenggara yang bekerja bertentangan dengan Undang-Undang, konstitusi, berbohong, enggak bisa," kata Hadar di Kantor DKPP RI, Jakarta.
"Jadi menurut pandangan kami, kita perlu ganti penyelenggara Pemilu kita. Jadi enggak bisa pemilu ini diteruskan model seperti ini," sambungnya.
DKPP punya wewenang untuk melakukan hal itu, kata Hadar. Oleh karena itulah kenapa pihaknya mengadukan KPU ke DKPP ketimbang ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
"Ruang itu, wewenang itu, ada di DKPP. Jadi kami minta diproses dan diputuskan dengan nyata untuk memperbaiki penyelenggara pemilu yang sebelumnya tidak terlalu lama lagi," katanya.
"Dan kita berharap ini bisa terselenggara dengan jujur, adil, oleh penyelenggara yang berintegritas," Hadar menambahkan.
Sebagai informasi, 17 April 2023 KPU telah menetapkan PKPU No 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dinilai bisa membuat keterwakilan perempuan di legislatif menjadi kurang dari 30 persen.
Pasal ini mengatur terkait pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah keterwakilan perempuan di satu dapil.
"Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas," bunyi Pasal 8 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Baca juga: Perludem: Bawaslu Punya Kewenangan Besar Ketimbang hanya Adukan KPU ke DKPP
Akibat dari aturan itu, keterwakilan perempuan akan kurang dari 30 persen di sejumlah dapil. Semisal, pada dapil yang memberlakukan 7 caleg, 30% dari jumlah tersebut ialah 2,1.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023, angka di belakang koma kurang dari 50, maka 2,1 dilakukan pembulatan menjadi 2 orang.