Pleidoi AKBP Bambang Kayun: Transaksi Suap Tidak Terbukti karena Penyuap Tak Pernah Diperiksa
Dalam pleidoinya, Bambang Kayun meminta majelis hakim membebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa AKBP Bambang Kayun menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi pada hari ini di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam pleidoinya, Bambang Kayun meminta majelis hakim membebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Itu karena Kayun menilai transaksi suap senilai Rp57.126.300.000 (Rp57,1 miliar) sebagaimana didakwakan jaksa KPK tak terbukti.
Sebabnya, para terduga penyuap, yakni Emylia Said dan Herwansyah tidak pernah diperiksa dalam penyidikan maupun dihadirkan di persidangan.
Pernyataan Bambang Kayun diamini kuasa hukumnya, Sumardan. Dia menjelaskan, berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Maka berdasar ketentuan Pasal 183 KUHAP, tidak dapat dijatuhkan pidana kepada terdakwa karena tidak terpenuhinya dua alat bukti.
"Bahwa kami penasihat hukum terdakwa sangat menyayangkan sekali tindakan penuntut umum yang tidak menghadirkan saksi korban sekaligus sebagai pemberi hadiah atau janji yaitu Emylia Said dan Herwansyah, kami penasihat hukum khawatir juga apabila nanti ternyata setelah dihadirkan dalam persidangan korban Emylia dan Herwansyah menyatakan bahwa tidak pernah member hadiah atau janji kepada terdakwa maka ini menjadi preseden buruk dalam menegakkan hukum," kata Sumardan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/8/2023).
"Dengan tidak terpenuhinya dua alat bukti, maka penuntut umum tidak dapat membuktikan dalil dakwaan alternatif pertama sebagaimana tuntutan penuntut umum yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana," tambahnya.
Sumardan turut menyinggung soal pembebanan pembayaran uang pengganti sebesar Rp57,1 miliar terhadap Bambang Kayun.
Menurutnya, tuntutan JPU KPK tersebut bertentangan dengan hukum.
"Dari fakta hukum tuntutan penuntut umum tersebut jelas-jelas perbuatan ilegal terdapat penyelundupan hukum, yang mana dasar dari rangkaian pidana mengacu pada dasar surat dakwaan penuntut umum, terhadap uang pengganti diatur dalam Pasal 18 UU Tipikor. Dari munculnya uang pengganti tiba-tiba dituntutan tanpa diuraikan dalam surat dakwaan terlebih dahulu maka tuntutan a quo jelas bertentangan dengan hukum serta telah melakukan menyimpangi dari asas kepastian hukum," jelasnya.
Atas dasar itu, tim penasihat hukum meminta majelis hakim membebaskan segala dakwaan dan tuntutan hukum.
Selain itu, JPU diminta untuk mengeluarkan Bambang Kayun dari tahanan setelah putusan dibacakan.
"Kami juga meminta untuk memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya," kata Sumardan.
AKBP Bambang Kayun sebelumnya dituntut dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 8 bulan kurungan.
Jaksa KPK menilai Bambang telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah menerima suap.
"Menyatakan terdakwa Bambang Kayun Bagus Panji Sugiharto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama," ujar jaksa KPK saat membacakan amar tuntutan pidana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/8/2023).
Bambang juga diminta jaksa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp57.126.300.000 paling lama satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.
Apabila tidak dibayar, maka harta benda Bambang disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam dakwaan, AKBP Bambang Kayun disebut telah menerima uang dan satu unit mobil Toyota Fortuner dengan total sejumlah Rp57.126.300.000 (Rp57,1 miliar) dari Emylia Said dan Herwansyah--kini berstatus DPO Bareskrim Polri.
Tindak pidana tersebut diduga dilakukan Bambang saat menjabat sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bankum Divisi Hukum Polri periode 2013-2019.