Menag Sebut Budaya Toleransi Kunci Utama Kelola Perbedaan
Pengalaman Indonesia dalam merawat toleransi sangat erat kaitannya dengan budaya demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia
Penulis: Reza Deni
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut menggarisbawahi pentingnya mengukuhkan budaya toleransi (culture of tolerance) dalam menghadapi dinamika globalisasi.
Dia menyebut konflik dan perang masih terjadi di berbagai tempat yang berdampak pada migrasi besar-besaran manusia. Bencana dan perubahan iklim juga mengantarkan perjumpaan antarmanusia secara baru dan terus-menerus.
Menurut Menag, tiap masyarakat, tiap bangsa, dan tiap etnis saat ini dipaksa untuk secara permanen berhadapan dengan mereka yang lain (the other), dan mereka yang berbeda (difference).
"Tanpa culture of tolerance, gejolak dan perubahan ini akan dengan mudah terpeleset menjadi tragedi kemanusiaan baru,” tegas Menag Yaqut saat memberikan sambutan pada pembukaan Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023, di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (29/8/2023).
“Budaya toleransi merupakan kunci utama dalam mengelola keragaman dan perbedaan,” sambung Menag.
Baca juga: Pemerintah Gelar Jakarta Plurilateral Dialogue 2023, Serukan Perkuat Toleransi Antarumat Beragama
Bagi Indonesia, kata Gus Yaqut, memperkuat budaya toleransi dan mempertahankan masyarakat majemuk yang terbuka, satu garis lurus dengan keperluan dan agenda melestarikan demokrasi dan menjamin hak asasi manusia.
Pengalaman Indonesia dalam merawat toleransi, dia mengatakan sangat erat kaitannya dengan budaya demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan eksperimen toleransi terpanjang dan paling intens. Tradisi dan kepercayaan Indonesia mendorong warga negara untuk memahami, mengilustrasikan, dan menerjemahkan perbedaan menjadi fakta yang dapat dimengerti dan diadaptasikan dalam pergaulan sesama warga,” ujar Gus Yaqut.
“Kami, Indonesia, menyadari betul bahwa tak ada hidup bersama yang tidak plural, tidak ada sejarah yang tidak ditandai dengan kemajemukan. Pluralitas adalah ciri kodrati tata realitas, baik natural maupun kultural. Karena itu penolakan terhadap pluralitas sesungguhnya adalah penyangkalan terhadap realitas,” sambung dia.
Dirinya menyambut baik setiap inisiatif untuk terus menguatkan budaya toleransi dan Mainstreaming UN Human Rights Council Resolution 16/18 harus didukung.
"Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia siap berbagi praktik baik dalam penguatan budaya toleransi yang banyak berkembang di masyarakat,” tandasnya.
Sebagai informasi, acara ini diselenggarakan atas kerja sama Kantor Staf Presiden, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Agama. Tema yang diangkat, “Strengthening the Culture of Tolerance by Mainstreaming the UN Resolution 16/18”. JDP dihadiri para tokoh agama, aktivis HAM, perwakilan Kedubes 64 negara, FKUB 34 provinsi, para penyuluh agama, dan para akademisi dari berbagai negara.