I Wayan Sudirta: Pelestarian Nilai Budaya Lokal Bagian dari Implementasi Nilai Pancasila
Sudirta yang resmi menyandang gelar doktor hukum secara linier mengangkat tentang pelestarian nilai-nilai budaya lokal
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Erik S
Laporan Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta menyampaikan nilai budaya lokal merupakan bagian dari implementasi nilai-nilai Pancasila.
Disampaikan Sudirta saat sidang terbuka promosi Doktor Pascasarja Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Baca juga: Wayan Sudirta: Pidato Presiden di Rapat Tahunan MPR Menaruh Perhatian Pada Strategi Menata Regulasi
Sudirta yang resmi menyandang gelar doktor hukum secara linier mengangkat tentang pelestarian nilai-nilai budaya lokal merupakan salah satu inti dari implementasi nilai-nilai Pancasila.
Sudirta berhasil mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dengan IPK 4,00 dan gelar Cumlaude dengan nilai sempurna (Summa Cumlaude). Sudirta merupakan lulusan doktor ke-12 dari UKI dan doktor ke-4 dari Program Studi Pascasarjana Program Doktor Hukum UKI.
"Pelestarian nilai-nilai budaya lokal merupakan inti implementasi Pancasila adalah salah satu kesimpulan dari penelitian disertasi saya dengan judul; Rekonstruksi Pemahaman Atas Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," ujar Sudirta saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (15/9/2023).
Dalam ujian tersebut bertindak sebagai Ketua Sidang Promosi Doktor Hukum sekaligus Rektor UKI Dr. Dhaniswara K Harjono didampingi para dosen penguji, yaitu Prof Dr. John Pieris sekaligus sebagai Promotor, Prof. Dr. Benny Rianto; Prof. Dr. M.S. Tumanggor; Prof. Dr. Adji Samekto; Prof. Dr. Abdul Bari Azed, dan Prof. Dr. Mompang L Panggabean.
Dalam ujian doktor tersebut hadir Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR Utut Adianto, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, Wakil Komisi III DPR Habiburokhman, mantan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh, advokat senior Mulia Lubis, fungsionaris DPP PDI Perjuangan, tokoh senior LBH dan pengacara serta organisasi keagamaan PHDI.
Tokoh-tokoh Hindu yang hadir yakni Ketua Umum PHDI Jenderal (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua PHDI Bali Nyoman Kenak, Rektor Universitas I Gusti Bagus Sugriwa, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Baca juga: Disertasi tentang PPHN, Bamsoet Jalani Sidang Terbuka Promosi Doktor di UNPAD Bandung
"Acara kemarin menjadi menarik, dibuka dengan doa Kristen dan ditutup dengan doa Hindu yang dipimpin Ngurah Sudiana. Doa Kristen sebagai pembuka dan ditutup secara Hindu ini menjadi cermin nilai-nilai kebhinekaan dan implementasi Pancasila," ujar Sudirta.
Disertasi Sudirta juga banyak mengutip dan mengangkat tulisan tokoh-tokoh Hindu yang berbicara tentang adat dan Budaya Bali serta agama Hindu. Seperti tulisan tentang adat budaya serta Agama Hindu dari Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, I Ketut Puspa Adnyana, tulisan tentang Hindu oleh Rektor Universitas Bagus Sugriwa Ngurah Sudiana, tulisan dari Sekretaris PHDI Bali, Putu Wiratha Dwikora serta tulisan mantan wartawan senior yang juga akademisi Dr I Gede Sutarya.
Dalam tanya jawab juga muncul pertanyaan-pertanyaan penguji yang dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila yang menurut Bung Karno digali dari budaya bangsa yang sudah hidup ribuan tahun atau sebelum Indonesia merdeka.
Sudirta memberikan jawaban dan argumentasi yang padat berisi. Sebagai tokoh berlatarbelakang Krama Bali, banyak sekali budaya Bali yang diangkat oleh pria yang juga advokat senior ini.
Baca juga: Sidang Promosi Doktor Ilmu Hukum, Darmadi Durianto Raih Predikat Cum Laude
Seperti ajaran Tatwam Asi, Tri Hita Karana, Hukum Karmapala. Hal ini yang dipakai menjawab pertanyaan dewan penguji oleh Sudirta secara tuntas dan menarik perhatian. Nilai-nilai kebhinekaan, toleransi, peranan pecalang menjaga lingkungan desa adat semua masuk di dalam argumen Sudirta.
"Dari hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa makna Pancasila tersimpul dalam nilai-nilai Pancasila yang merupakan titik temu seluruh hakikat kehidupan masyarakat Indonesia," tuturnya.
Sudirta menegaskan perumusan nilai-nilai dalam Pancasila berkembang seiring dengan perumusan Pancasila itu oleh para pendiri bangsa. Namun, tetap mengakar pada konsepsi Soekarno bahwa Pancasila sebagai Philosofische Grondslag dan sebagai Weltanschauung.
"Pancasila sejatinya memberikan landasan visi transformasi sosial bagi ketatanegaraan Indonesia secara holisitik dan antisipatif," tegas Wayan Sudirta.
Menurut Sudirta, di dalam nilai-nilai Pancasila terdapat nilai-nilai yang mengandung nilai kultural (sila pertama, sila kedua, dan sila ketiga), nilai politik dan gotong royong (sila keempat), dan nilai materiil serta keadilan (sila kelima).
“Seluruh nilai tersebut saat ini belum benar-benar menjadi landasan ideologi kerja dan penyusunan platform kebijakan di semua lini dan ketatanegaraan Indonesia. Pancasila belum menjadi panduan dan haluan yang memudahkan perumusan prioritas pembangunan, pencanangan program kerja, serta pilihan kebijakan yang diperlukan,” ujar Anggota DPD RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 ini.
Penafsiran Nilai Pancasila
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, Sudirta merekomendasikan bahwa penafsiran terhadap nilai-nilai Pancasila pada dasarnya membuka kebebasan untuk melakukan penafsiran sesuai dengan perkembangan peradaban bangsa Indonesia.
Dengan konsep tersebut, bukan saja revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman nilai-nilai Pancasila yang harus dihadirkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi juga menjadikan Pancasila sebagai rujukan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Megawati Beri Pembinaan Ideologi Pancasila kepada Para Menteri dan Pemangku Kebijakan
Untuk itu, Sudirta mendorong BPIP berperan sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam membangun kesadaran bangsa Indonesia untuk kembali memedomani Pancasila dengan mengonstruksikannya dalam tiga dimensi, yakni ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Pada masa kini, menurut Sudirta nilai-nilai Pancasila memerlukan pengembangan yang ampuh dengan mendekatkan kesenjangan antara ide-ide konseptual Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan perkembangan masa kini.
“Diperlukan pemahaman secara mendasar akan konsep-konsep pokok Pancasila dan kemampuan menjadikan Pancasila sebagai sandaran kritik atas ideologi-ideologi lain serta atas praktik penyelenggaraan negara, diakhiri dengan pedoman implementatif dalam usaha pemaknaan Pancasila,” tegas Sudirta.
Untuk itu, menurut Sudirta, perlu haluan negara yang mampu menderivasi konsep Pancasila menjadi lebih aktual dan implementatif. Oleh karena itu, MPR menjadi garda terdepan dan wajib diikuti oleh semua lembaga negara agar menjadi panduan dan program masing-masing lembaga.
Konsep Tri Hita Karana
Pada kesempatan itu, sebelum mengakhiri pandangannya, Sudirta menegaskan kembali secara prinsip aktuliasasi dari nilai-nilai Pancasila dalam bernegara harus kembalikan ide-ide Soekarno.
Dia menyebutkan masyarakat Bali nantinya akan memiliki peran yang signifikan dalam hal ini. Sebab, masyarakat Bali adalah masyarakat yang memegang teguh budaya dan nilai-nilai Hindu.
“Bentuk dan aktulisasi nilai-nilai yang dianut masyarakat Bali akan menjadi contoh dalam mengaktualisasikan Pancasila,” ujar politisi asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini.
Lebih lanjut, Sudirta mengatakan dalam masyarakat Bali dikenal konsep Tri Hita Karana, yang memiliki hubungan dengan Pancasila sebagai pembangun kesejahteraan sosial yang holistik (dunia dan rohani).
“Dalam hal ini, Pancasila diwujudkan dalam kewajiban negara untuk memfasilitasi seluruh kehidupan beragama, sehingga tercapai kesejahteraan holistik,” ujar Sudirta.
Sudirta mengungkapkan latar belakang disertasi ini karena kondisi demokrasi yang sudah mengarah ke arah liberalisme dan kapitalisme.
Menurut dia, liberalisme masuk ke Indonesia tanpa disaring dan nilai-nilai lokal pelan-pelan tergerus, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam yang dominan dikuasai oleh individu dan perusahaan asing.
"Ini persoalan kebijakan dan kemampuan politik, sehingga perlu rekonstruksi dan mengembalikan pemikiran Bung Karno, sesuai dengan pidatonya bahwa kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial salah satu tujuan yang sangat penting," tegas Ketua Tim Panitia Perancang Undang-undang DPD RI dua periode ini.
Oleh karena itu, kata Sudirta, salah satu solusi mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah rekonstruksi nilai-nilai Pancasila yang disebutnya radikalisme Pancasila.
Kata dia menegaskan, radikalisme bukan berarti negatif, tetapi mempercepat bagaimana Pancasila membumi.
“Untuk membumikan Pancasila, ada beberapa hal yang harus dilakukan yakni, bagaimana agar Pancasila betul-betul disepakati, tidak boleh digoyah lagi, menjadi ideologi negara, jangan ada ideologi lain. Pancasila sebagai ideologi negara, harus dianggap sebagai ilmu dan dipelajari oleh seluruh dunia, sehingga sosialisasinya menjadi masif,” beber Sudirta.
Selain itu, kata Sudirta, peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tidak boleh menyimpang. Lalu, Pancasila jangan diabdikan hanya kepada pemerintah dan negara, tidak vertikal, tapi lebih banyak ke horizontal yakni ke masyarakat.
"Pancasila itu justru harus lihat sebagai sarana untuk mengeritik pemerintah, jikalau pemerintah tidak sesuai melaksanakan program-program pembangunan berdasarkan Pancasila," imbuh dia.
Lebih lanjut, Sudirta mengatakan penelitian ini mengeksplorasi nilai-nilai Pancasila dalam tiga pendekatan, yakni keyakinan, pengetahuan dan tindakan. Dimensi keyakinan, kata dia, bertolak dari sisi ontologis Pancasila dengan menggali hakikat nilai-nilai Pancasila dalam eksistensi manusia sesuai alam pikir Pancasila sebagai filsafat sebagai makna terdalam dari ide yang mendasari Pancasila.
“Struktur terdalam itu adalah titik temu dalam menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam masyarakat yang majemuk yang dituangkan dalam prinsip sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan sosio-religius, yang terkristalisasi dalam semangat gotong royong," ujar Sudirta.
"Sementara dimensi pengetahuan bertolak dari epistemologis Pancasila, yakni konsekuensi paradigmatik-teoritis yang dapat menurunkan konsepsi-konsepsi pengetahuan (epistemologi), di mana filosofi Pancasila berkaitan dengan cara berpikir menurut Pancasila. Sedangkan dimensi tindakan meninjau dari aksiologis Pancasila, yakni Pancasila sebagai kerangka pengetahuan (konseptual) yang menuntut perwujudan kerangka operatif sebagai pedoman perilaku penyelenggara negara dan warga negara," tegasnya.