Praktisi Hukum Tekankan Pentingnya Hadirkan Fungsi Pancasila Dalam Kehidupan Sehari-hari
Praktisi Hukum Agus Widjajanto menekankan pentingnya menghadirkan fungsi dan kedudukan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi Hukum Agus Widjajanto menekankan pentingnya menghadirkan fungsi dan kedudukan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari seluruh anak bangsa tanpa kecuali.
Hal ini penting karena adanya perubahan yang sangat signifikan di tengah masyarakat sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi.
"Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih menghantarkan perubahan signifikan pada perilaku manusia, karena itu perlu proteksi dan penguatan untuk membentengi generasi muda bangsa dari pengaruh budaya baru yang datang dari luar," kata Agus, dalam keterangan yang diterima Selasa (26/9/2023).
Menurutnya, pengaruh budaya asing dapat menggerus dan menggoyahkan jati diri bangsa.
Jika tidak diproteksi melalui penguatan nilai-nilai Pancasila dikhawatirkan banyak anggota masyarakat akan terkontaminasi budaya dan ideologi asing.
"Dalam skala yang lebih besar akan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Lulusan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu mengungkapkan, sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa menjadi acuan bagi generasi muda bangsa dalam bersikap bertindak dan bertutur kata. Utamanya lima sila Pancasila yang isinya saling menjiwai satu sama lain.
"Proklamasi 17 Agustus 1945 dilaksanakan bertepatan dengan hari Jumat di bulan Ramadhan, bagi masyarakat Indonesia hari ini dianggap hari sakral dan karunia terbesar bagi bangsa ini dari Yang Maha Kuasa," ujarnya.
Sebelum itu, lanjut Agus Widjajanto, saat penguasa militer Jepang di Indonesia membentuk BPUPKI dan Jepang menyerah kepada sekutu, suasana kebatinan para pendiri bangsa sangat emosional.
Baca juga: Praktisi Hukum Nilai Bhinneka Tunggal Ika dan Piagam Madinah Tekankan Pentingnya Hargai Perbedaan
Ir Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, menekankan nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan warisan dari para leluhur.
Dari kerajaan-kerajaan besar yang dijabarkan secara tertulis melalui Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma serta Serat Tembang Wredatama dan Ajaran Wulang Reh. Nilai-nilai luhur bangsa ini dikenal dengan nilai-nilai Pancasila sekaligus dijadikan sebagai hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945.
"Penting diketahui juga bahwa dalam menyusun Pancasila sebagai Dasar Negara, Bung Karno terilhami adanya suatu pemerintahan yang berdasarkan Ketuhanan yang Esa," kata pria asal Kudus Jawa Tengah itu.
Pemerintahan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu melindungi segenap tumpah darah rakyatnya. Pemerintahan yang menghargai perbedaan bagi setiap pemeluk agama dan keyakinannya.
Hal itu sebagaimana merujuk kata-kata legendaris dalam Kitab Sutasoma, Hindu Tatwa, Bhuda Tatwa, Tan Hanna Dharma Mangrwa, Bhineka Tunggal Ika.
"Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu dalam naungan Negara. Dalam bahasa sederhananya tiada pengabdian yang abadi kecuali kepada Tuhan yang Maha Esa," ujarnya.
Calon Mahasiswa Doktor Universitas Padjajaran Bandung itu menguraikan, para pendiri bangsa menempatkan Sila Pertama dalam Pancasila sebagai Dasar Negara.
Suatu pondasi bahwa Indonesia dibentuk sebagai negara yang berketuhanan tapi bukan Negara Agama. Melainkan dari penyatuan berbagai perbedaan, baik suku, ras, agama dan adat istiadat.
"Sila Pertama Pancasila sekaligus menegaskan komitmen bahwa Negara hadir dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya atas kerukunan dalam beragama. Oleh sebab itu sila pertama itu berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa," ujar Agus.
Sila Kedua yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab", Bung Karno diilhami oleh Ajaran Wulang Reh karya Sri Paduka Pakubuwono IV dari Keraton Surakarta. Raja Kasunanan Surakarta ketiga itu mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa dan dari golongan-golongan yang berbeda. Selain itu kaitannya selaku penguasa atau raja terhadap anggota masyarakat.
Ajaran Wulang Reh mengandung aspek-aspek sosiologi terutama dalam bidang intergroup relation atau hubungan antar kelompok. Seperti aspek moral, aspek sosial, aspek pendidikan, aspek ekonomi dan aspek saling asah asih asuh dalam masyarakat.
Tentunya dengan mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.
Agus Widjajanto melanjutkan yaitu Sila Ketiga Pancasila "Persatuan Indonesia", Bung Karno diilhami dari Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma.
Kitab itu mengajarkan tentang tata pemerintahan pada masa kerajaan besar masa lalu. Dimana rakyat harus bersatu padu agar mempunyai rasa nasionalisme dan menjunjung tinggi bangsa dan negaranya.
Kemudian Sila Keempat Pancasila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, Bung Karno selaku pencetus dan penggali Pancasila diilhami dari tata pemerintahan desa yang sangat harmonis dan sudah mempunyai perangkat pemerintahan sendiri sejak dulu kala pada kerajaan-kerajaan besar.
"Bung Karno menggali tata pemerintahan desa dari Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Demak Bintoro, Kerajaan Mataram (Islam), Ngayogjokarto Hadiningrat sampai Surakarta Hadiningrat," ucapnya.
Terakhir, Sila Kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Bung Karno diilhami dari tata kehidupan dalam tulisan Kitab Negara Kertagama dan Ajaran Wulang Reh dari Sri Paduka Pakubuwono ke IV.
Kitab dan ajaran itu berisi nilai-nilai luhur bangsa selaku warisan leluhur yang dijabarkan melalui hidup gotong-royong, guyub dan rukun untuk mencapai kemakmuran bersama.
"Sangat disayangkan generasi muda bangsa sangat minim atas pembelajaran sejarah bangsa. Apalagi sekarang tidak lagi diajarkan pendidikan budi pekerti seperti jaman dulu yang diterapkan secara wajib dalam proses belajar mengajar dalam strata pendidikan dasar hingga menengah," ucapnya.
Baca juga: Praktisi Hukum: Pancasila Bukan Hanya Dasar Negara Tapi Sumber dari Segala Sumber Hukum
"Padahal di usia itulah paling krusial untuk membentuk karakter dan kepribadian anak bangsa. Semoga menjadi pertimbangan agar sistem pendidikan dikembalikan dengan adanya pembelajaran Budi pekerti sesuai karakter bangsa dan sejarah bangsa ini," tandasnya.