Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce Sambut Baik Permendag 31/2023
Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) menyambut baik adanya daftar positif yang akan diberlakukan sebagaimana Pasal 19 Peraturan Mendag.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) menyambut baik adanya daftar positif yang akan diberlakukan sebagaimana Pasal 19 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023.
Aturan ini menyoal batas harga barang impor.
Ketua APLE, Sonny Harsono mengatakan lewat aturan tersebut pemerintah menyadari bahwa pelarangan barang impor di bawah 100 dolar AS tidak mungkin diberlakukan tanpa adanya pengecualian.
"Kami beranggapan bahwa Permendag 31 Tahun 2023 Pasal 19 Ayat 1 dan 2 tentang PMSE yang melakukan kegiatan importasi yang bersifat Lintas Negara wajib menerapkan harga barang minimum sebesar FOB 100 dolar AS adalah aturan yang merugikan dan diskriminatif serta melanggar norma perdagangan internasional," kata Sonny, Kamis (5/10/2023).
Menurutnya, jika pemerintah berupaya melindungi UMKM, bukan dengan melarang nominal harga barang yang dapat dijadikan bahan dasar dari produksi UMKM dan memiliki nilai tambah, tapi melihat proses importasinya di mana importasi ilegal adalah penyebab utama predatory pricing.
Kata dia, bukan nominal batas impor 100 dolar AS yang membunuh UMKM, melainkan seluruh besaran nominal barang impor yang tidak melalui proses importasi resmi akan menyebabkan predatory pricing dan merugikan UMKM.
Sonny mengatakan saat ini UMKM Indonesia telah melakukan ekspor secara besar-besaran melalui PMSE Lintas Negara (crossborder) sehingga menjadi kontradiktif bila di sisi lain UMKM diuntungkan dengan perdagangan Lintas Negara melalui PMSE.
Namun PMSE tersebut malah dibatasi transaksinya. Saat ini nilai transaksi ekspor UMKM melalui PMSE Lintas Negara sebesar Rp8-10 triliun per tahun dan secara volume sudah melewati batas importasi PMSE Lintas Negara.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jalur PMSE Lintas Negara merupakan jalur perdagangan yang memberikan kontribusi besar dan dapat meningkatkan daya saing UMKM secara internasional.
Hal ini dapat dilihat dari target pencapaian PMSE Lintas Negara yang akan mendorong 60 juta UMKM pada tahun 2025 untuk dapat melakukan ekspor ke wilayah ASEAN dengan nilai transaksi lebih dari Rp50 triliun per tahun.
"APLE mendukung segala upaya untuk melindungi dan meningkatkan daya saing (Kompetitif Advantage) UMKM nasional, di mana tidak mungkin peningkatan daya saing UMKM dapat dicapai tanpa peningkatan kegiatan Lintas Negara (crossborder)," terangnya.
Menurutnya pola terbaik saat ini yang dapat memberikan hasil instan dan langsung kepada UMKM adalah melalui pola PMSE Lintas Negara, di mana UMKM diuntungkan dengan memotong mata rantai pasok dari menjual ke pedagang besar (trader) seperti pada model transaksi konvensional menjadi menjual langsung kepada pembeli (buyer).
Tak hanya itu, APLE juga meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam penerapan Positive List dalam Permendag 31 Tahun 2023 agar Positive List tersebut dapat benar-benar meningkatkan daya saing UMKM, bukan malah merugikan.
Dikarenakan selain bahan baku perdagangan PMSE Lintas Negara/Crossborder juga menghasilkan pendapatan negara dari segi pajak dan bea masuk sebesar Rp5-6 triliun per tahun.
Problem yang terjadi sekarang, sambungnya, Predatory Pricing barang impor bukan perdagangan PMSE Lintas Negara. Sehingga urgensi yang harus dilakukan adalah menghilangkan Predatory Pricing barang impor yang di jual di dalam negeri.
"Kami menyarankan agar pemerintah bersama dengan stakeholders logistik e-commerce segera membuat blueprint bersama dalam upaya menghilangkan Predatory Pricing barang impor," tukasnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan, menurut Sonny, adalah menciptakan solusi agar seluruh perdagangan barang impor dapat dilakukan secara legal sehingga dapat menghilangkan Predatory Pricing.
APLE menyarankan agar pemerintah membentuk logistik hub di daerah bebas bea, seperti di Batam agar barang ilegal yang hampir seluruhnya transit melalui daerah bebas bea negara tetangga dapat menjadi tidak relevan.
"Kami pernah menyampaikan hal ini saat audiensi dengan Menteri Koperasi dan UKM. Agar pelabuhan negara tetangga tidak lagi mendukung kegiatan importasi ilegal perlu dibuat logistik hub serupa di area sekitar Malaysia, Singapura dan tempat yang paling cocok adalah Batam," katanya.
Langkah kedua, yakni melakukan operasi penegakan hukum kepabeanan di seluruh platform e-commerce lokal maupun internasional yang beroperasi di Indonesia.
Di saat yang bersamaan jalur resmi PMSE Lintas Negara/Crossborder tetap dibuka dan di dorong melalui Logistik HUB tersebut dengan sistem e-katalog serta Risk Engine diberlakukan juga di Batam, sehingga seluruh barang impor dapat dikontrol dari sisi harga, uraian barang, asal barang, dan harga jual/biaya logistik perpajakan menjadi transparan.
Hal ini akan menciptakan Equal Playing Field terhadap produksi dalam negeri dan menghilangkan Predatory Pricing selamanya, dan barang impor pun menjadi sangat terkontrol.
Dengan dilakukannya dua langkah diatas, kata Sonny, dapat dipastikan pemerintah memiliki kontrol sepenuhnya terhadap arus barang dan selanjutnya hanya perlu dilakukan monitoring bersama.
Di mana pada proses ini pemerintah dapat membuat aturan-aturan berdasarkan kondisi real di lapangan, di mana harga, jenis, dan kebutuhan barang dapat diregulasi.
"Kami siap berkontribusi aktif dalam rumusan solusi dan berperan aktif di proses penegakan hukum," tukasnya.