Kata Pakar Psikologi Forensik soal Kronologi Kematian DSA, Perilaku Kekerasan Anak DPR Bereskalasi
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, memberikan komentar mengenai kronologi kematian DSA (29) akibat kekerasan yang dilakukan oleh GRT.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, memberikan komentar mengenai kronologi kematian DSA (29) akibat kekerasan yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur (GRT), yang merupakan anak anggota DPR RI, Edward Tannur.
Atas tindakannya itu, Gregorius Ronald Tannur dijerat Pasal 351 Ayat 3 dan atau Pasal 359 KUHP, terkait dengan penganiayaan hingga mengakibatkan meninggal dunia.
"Ancaman maksimal hukuman 12 tahun penjara. Dengan tindakan yang sudah kami lakukan, penyidik tersangka telah kami lakukan penahanan sebagaimana dalam surat perintah penahanan," ujar Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pasma Royce, dikutip dari Kompas.com.
Menanggapi hal itu, Reza Indragiri Amriel mengatakan, GRT sebatas ditersangkakan sebagai pelaku penganiayaan dan/atau kelalaian yang mengakibatkan korbannya meninggal dunia.
Baca juga: Ronald Tannur jadi Tersangka Pembunuhan di Surabaya, Anak Anggota DPR RI Terancam 12 Tahun Penjara
Namun, Reza Indragiri berpendapat rangkaian kronologi perilaku kekerasan GRT perlu didalami terlebih dahulu.
Reza Indragiri Amriel berpendapat, dari urutan tersebut, terindikasi perilaku kekerasan GRT bereskalasi.
"Dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala)," kata Reza dalam rilisnya sebagaimana diterima oleh Tribunnews.com.
"Dari sebatas tangan kosong ke penggunaan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil)" ujarnya.
Eskalasi kekerasan tersebut, ditambah karena tidak ada yang meleset dari organ vital DSA, serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, menurut Reza mengindikasikan sesuatu.
"GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya," jelas Reza.
"Namun, alih-alih menyetop, dalam kondisi kesadaran tersebut GRT justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap sasaran."
"Itu menjadi penanda bahwa GRT sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan."
"Tapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan bahkan memperberat perilaku kekerasannya," terangnya.
Dengan kondisi kesadaran dan aktivasi kontrol sedemikian rupa, kata Reza, patut diduga bahwa GRT pun mampu untuk sampai pada pemikiran bahwa ia akan melakukan perbuatan yang dapat menewaskan korban.
"Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di kepala GRT sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban," jelasnya.
"Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian SA itu muncul dalam benak GRT, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan GRT di mana perilaku kekerasan bereskalasi dan disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran," tutur Reza.
Berdasarkan penjelasan itu, Reza berharap Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan pasal 338 KUHP terhadap GRT.
Menurutnya, yang perlu diselidiki adalah ada tidaknya kontrol diri sebagai perwujudan kesadaran GRT.
Dan guna memastikannya, perlu ditemukan lima hal di bawah ini:
1. Pola eskalasi perilaku kekerasan GRT terhadap sasaran (SA);
2. Di samping rentang waktu kekerasan secara keseluruhan, cek pula interval antara episode kekerasan yang satu dan lainnya;
3. Periksa ponsel guna memantapkan ada tidaknya pesan atau komunikasi yang menggenapi eskalasi kekerasan GRT terhadap SA;
4. Periksa apakah SA dalam keadaan hamil atau kondisi-kondisi fisik lainnya yang bisa menjadi pretext bagi GRT untuk melenyapkan SA;
5. Baik jika dapat ditakar kadar alkohol dalam tubuh GRT. Apakah kadar alkohol tersebut berada pada level yang masih memungkinkan ia melakukan kontrol terhadap pikiran dan perilakunya sendiri.
Penjelasan Polisi
Mengenai kronologi tewasnya DSA, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pasma Royce, mengungkapkan awalnya korban dan pelaku dihubungi oleh seorang rekan GRT saat sedang makan.
Mereka kemudian diajak karaoke pada Selasa (3/10/2023) malam.
"Korban dan GRT menjalin hubungan sejak bulan Mei, kurang lebih 5 bulan. Pada Selasa pukul 18.30 WIB, saat sedang makan, lalu dihubungi oleh rekan saksi empat untuk diajak ke tempat karaoke," kata Royce saat ungkap kasus GRT, dilansir YouTube Warta Kota Production.
Terungkap fakta bahwa di tepat karaoke tersebut, GRT bersama rekannya bernyanyi sambil menenggak minuman keras (miras).
Korban juga ikutan minum meski hanya sedikit.
"Pukul 21.32 WIB, korban dan pelaku datang ke tempat karaoke dan bergabung dengan temannya sambil minum minuman keras," ucap Kombes Pasma.
Keduanya keluar dari ruangan pada Rabu (4/10/2023) sekitar pukul 00.10 WIB.
Saat itu, Royce menyebutkan korban dan pelaku terlibat percekcokan yang disaksikan oleh sekuriti setempat.
Tersulut emosi, GRT disebut menendang kaki korban hingga tersungkur dalam posisi duduk.
Tak hanya itu, kepala wanita yang merupakan single parent itu juga dipukul menggunakan botol miras tequila sebanyak dua kali.
Meski begitu, Andini masih tersadar. Ia pun pergi ke parkiran basement menuju mobil pelaku.
"Sesampai di parkiran basement, masih terjadi pertengkaran, korban DSA keluar mendahului saksi GRT dan di depan mobil Inova milik saksi GRT, korban DSA bersandar di pintu sebelah kiri," sambungnya.
Pelaku kemudian masuk mobil dan duduk di kursi kemudi.
Ia langsung menyalakan mesin mobil dan tancap gas meski Andini masih bersandar di pintu mobil sebelah kiri.
"Mobil dijalankan dari parkiran, lalu belok kanan, korban masih di sebelah kiri dan belum masuk, sehingga sebagian tubuh korban terlindas dan terseret 5 meter," terang Kombes Pasma.
Saat itulah momen yang viral di media sosial terjadi. Terlihat dalam video korban terlihat terkapar dan dibangunkan oleh sejumlah petugas sekuriti.
Namun, GRT yang diduga menjadi perekam video malah mengaku tak mengetahui apa yang terjadi kepada korban.
Setelah didesak, ia membawa korban masuk ke dalam mobil, tetapi bukan didudukan di kursi penumpang, melainkan di bagian belakang mobil layaknya barang.
"Setelah itu, pelaku menaikan korban DSA ke bagian belakang, dibawa ke apartemen. Sesuai dengan hasil CCTV," kata Royce.
Sesampainya di apartemen korban pada 01.15 WIB, Andini dipindahkan ke kursi roda.
Saat itu, pelaku melihat korban sudah dalam posisi lemas.
Panik bukan kepalang, GRT kemudian mencoba memberikan napas buatan sambil menekan dada korban.
"Pukul 01.15 WIB, ia memindahkan korban ke kursi roda yang mana saat itu korban sudah lemas. Dalam kondisi tersebut, saksi GR mencoba membuat napas buatan, dan menekan dada DSA, namun tidak ada respon. Lalu, dibawa ke rumah sakit. Pada pukul 02.30 WIB, korban DSA meninggal dunia," ucapnya.
(Tribunnews.com/Deni)