Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ketua MKMK Kaget Putusan MK Terkait Gibran Digugat

Jimly mengatakan, hal yang baru ketika undang-undang yang telah melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) digugat

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Ketua MKMK Kaget Putusan MK Terkait Gibran Digugat
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie, Rabu (1/11/2023). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddique mengaku kaget saat mengetahui putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia minimal capres-cawapres digugat uji materiil.

Momen ini terjadi saat sidang MKMK dengan pemeriksaan terhadap pelapor dari BEM Universitas Nahdlatul Ulama (NU) terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11).

Jimly mengatakan, hal yang baru ketika undang-undang yang telah melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) digugat atau diminta diuji kembali.

"Ada hal-hal baru setiap sidang itu, termasuk ini (gugatan atas putusan gugatan Nomor 90), hal baru ini," ucap Jimly Asshiddiqie.

Baca juga: Pengamat: Gibran Maju Cawapres Tak Mengejutkan, Portofolio Keluarga Jokowi Melulu pada Kekuasaan

"Saya juga kaget. Kalau (tidak) ada dia, saya enggak tahu itu," sambungnya.

Kata Jimly, gugatan atas putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah teregistrasi di MK dengan Nomor 141/PUU-XXI/2023. Ia kemudian menegaskan, gugatan yang sudah teregistrasi harus disidangkan oleh MK.

Lebih lanjut, ujar Jimly, pemohon uji materiil putusan MK 90 itu meminta Ketua MK Anwar Usman agar tak ikut serta dalam menangani permohonan yang diajukannya.

Berita Rekomendasi

Dengan demikian, pemeriksaan diminta hanya dilakukan oleh delapan hakim MK. Jimly menilai permohonan dari mahasiswa itu sebagai sesuatu yang kreatif.

"Ternyata (gugatan) sudah diregistrasi. Kalau sudah registrasi, harus disidang. Lalu, dia (pemohon gugatan Nomor 141) meminta cuma delapan orang saja yang menyidangkan (tanpa Anwar Usman). Kan Anda bisa membayangkan kan, kreatif itu," ungkap Jimly.

Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama (NU) mengajukan gugatan judicial review putusan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres-cawapres.

Dalam persidangan, Tegar selaku perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas NU meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tidak ikut memeriksa gugatan atas putusan gugatan Nomor 90 yang diajukan pihaknya.

Baca juga: Dokumen Penggugat Usia Capres Cawapres yang Tak Ditandatangani Sudah Dikonfirmasi, Ini Kata MKMK

Adapun permohonan judicial review tersebut sudah teregister di MK dengan Nomor 141/PUU-XXI/2023.

"Untuk tidak mengikut sertakan hakim konstitusi Anwar Usman dalam perkara Nomor 141 dan seterusnya," kata Tegar.

Merespons hal tersebut, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bertanya apakah Tegar merupakan pemohon gugatan Nomor 141 tersebut.

Tegar kemudian mengaku, dia bukan pemohon dari gugatan tersebut. Ia menjelaskan, gugatan Nomor 141 diajukan oleh rekannya sesama mahasiswa Universitas NU.

"Jadi, itu perkara pengujian UU yang sudah diuji oleh MK dan dikabulkan (putusan 90/PUU-XXI/2023), itu diuji lagi?" tanya Jimly kepada Tegar.

"Iya, Yang Mulia," jawab Tegar.

Tegar mengatakan, sidang Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 akan digelar pada 8 November 2023. "Sudah diregistrasi dan sudah ada jadwal persidangan, tanggal 8 November," ucap Tegar.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana, mengajukan gugatan uji materiil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Brahma selaku Pemohon meminta Mahkamah menguji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Permohonan ini telah teregister di MK dengan Nomor Perkara 141/PUU-XXI/2023. Ia menunjuk Viktor Santoso Tandiasa, sebagai kuasa hukum.

Dalam permohonannya, Brahma menyoroti adanya persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'. Menurutnya, ada pemaknaan yang berbeda-beda yang menimbulkan ketidak kepastian hukum, yakni pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Selain itu, ia juga mempersoalkan terkait 5 hakim yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023. Terkait hal itu, secara rinci, ia menyebut, ada 3 hakim yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Sedangkan, ada 2 hakim memaknai 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan Gubernur'. "Hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof. Manahan MP Sitompul)," tegas Brahma dalam permohonannya.

"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi' (YM. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih) dan syarat 'berpengalaman sebagai gubernur yang pada persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang' (YM. Dr. Daniel Yusmic P Foekh)," sambungnya.

Brahma menilai, frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.

Tak hanya itu, Braha kemudian mengatakan, Putusan 90/PUU-XXI/2023 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.

"Bahwa hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia," ucapnya. Dalam petitum, Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 Sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi".

Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'," demikian bunyi petitum Pemohon 141/PUU-XXI/2023.(Tribun Network/ibz/mar/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas