YLBHI: Jokowi Gagal Tuntaskan Pelanggaran Berat HAM di Masa Lalu
YLBI menilai era Jokowi gagal tuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Terbukti dia gagal memberikan atau mengungkapkan HAM berat masa lalu di masa (kepemimpinan) dia," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur saat ditemui dalam aksi Peringatan Hari HAM dan Hari Anti Korupsi di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta Pusat, pada Kamis (7/12/2023).
Isnur justru menyoroti pemerintahan era Jokowi yang berupaya mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui cara non-yudisial.
"Dengan cara non-yudisial, menurut kami inu semakin mengarah bahwa non-yudisial ini cara agar masyarakat tidak menuntut. Tidak mengejar ya, pertanggungjawaban para pelanggar HAM ya," ucap Isnur.
Baca juga: Tim Ad Hoc Komnas HAM Profilling 56 Saksi Terkait Kasus Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Munir
Saat ditanya Tribunnews.com mengenai eksistensi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu (PPHAM). Isnur mengatakan, hal itu menjadi tambahan, di mana upaya yudisial yang seharusnya sebagai pokok.
"Non-yudisial itu kan ekstra tambahan, di mana yudisial sebagai pokok itu harusnya berjalan," kata Isnur.
"Nah, yudisial enggak berjalan, di mana proses penyidikan itu berlanjut, enggak ada yang berlanjut. 12 perkara (pelanggaran HAM berat masa lalu) yang disebut Jokowi dimana Komnas HAM mengangkat itu, enggak ada yang berlanjut, ya kan. Enggak berproses ke pengadilan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Isnur menyebutkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, di antaranya Paniai Berdarah, yang digagalkan dengan membebaskan satu orang pelakunya.
"Kami melihat ini sudah mau akhir tahun, udah mau akhir periode dia baru melakukan pengungkapan, baru melakukan upaya non litigasi. Yang terjadi adalah enggak jalan, mana coba upaya pemulihan bagi korban, enggak ada."
Kemudian kasus Rumoh Geudong, di Pidie, Aceh.
"Ada kasus di Rumoh Geudong di Aceh, hanya satu (berhasil ditangani pemerintah). Itu pun di lapangan ada masalah karena korban ada banyak yang enggak dapat," katanya.
"Jadi kami curiga justru upaya mitigasi adalah upaya untuk menghentikan agar orang tidak lagi berharap dan berjuang untuk dilitigasi yudisial," tuturnya.
Sebelumnya, sebanyak 26 di Pidie yang menjadi korban tragedi Rumoh Geudong telah didata Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM), belum menerima bantuan proses non-yudisial.
Korban Rumoh Geudong berjumlah 54 orang telah diproses non-yudisial, yang telah diserahkan oleh Presiden RI, Joko Widodo, di Rumoh Geudong di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Selasa (27/6/2023).
Untuk diketahui, Presiden RI Joko Widodo telah melakukan peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaram HAM berat di Aceh, di Rumoh Geudong Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Selasa (27/6/2023).
Tercatat baru 54 korban Rumoh Geudong yang diselesaikan proses non yudisial.
"Saat ini, tercatat 26 warga korban Rumoh Geudong belum diproses secara non-yudisial. Awalnya kami masuk sebagai penerima bantuan non-yudisial, tapi saat Pak Jokowi datang ke Rumoh Geudong, tiba-tiba nama kami diganti," kata Aiyub Zamami (33) warga Pulo Glumpang, Kecamatan Tiro/Truseb, kepada Serambinews.com, Selasa (18/7/2023).
Ia menjelaskan korban Rumog Geudong di Kecamatan Sakti telah didata sejak 2018 hingga korban mendapatkan buku hijau dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK).
Dimana buku LPSK diserahkan kepada korban Rumoh Geudong untuk bisa berobat di rumah sakit.
Saat ini, sebagian buku hijau tersebut telah ditarik dan sebagian lagi masih ada pada korban Rumoh Geudong.
"Buku hijau itu ditarik karena tidak berlaku lagi untuk berobat," jelasnya.
Kata Aiyub, 26 korban Rumoh Geudong yang telah didata PPPHAM meminta kepada Presiden RI Joko Widodo agar memberikan hak yang sama dengan korban Rumoh Geudong yang telah mendapatkan bantuan dari proses non-yudisial.
Sebab ia bersama 25 warga lainnya tercatat sebagai korban Rumoh Geudong, saat Aceh diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM).
Ia menceritakan, ayahnya bernama M Rasyid meninggal ditembak pada tahun 1992 di Blang Kumot karena dituduh AM.
Selanjutnya, kata Aiyub yang lahir di Cot Murong, Kecamatan Sakti, bahwa pada tahun 1996, ia bersama ibunya bernama Nyak Maneh dibawa ke Rumoh Geudong.
Saat dibawa ke Rumoh Geudong, Aiyub masih berumur enam tahun.
"Sembilan malam saya di Rumoh Geudong. Sehingga saya sempat melihat penyiksaan berat yang dilakukan terhadap ibu saya. Ibu saya dituduh menyembunyikan enam pucuk senjata, yang sampai sekarang tidak terbukti," jelas Aiyub.
Menurutnya, setelah sembilan malam di Rumoh Geudong, Aiyub dilepas dengan diantar ke Gampong Cot Murong pada malam hari.
Aiyub kecil dilepas karena terus dibela ibunya karena masih kecil.
"Saya diturunkan dari mobil yang lokasinya sangat jauh dari rumah. Namun, ibunya sampai kini tidak diketahui pusaranya. Saya sendiri korban Rumoh Geudong," kenang Aiyub.
Abdullah Gani (73) warga Gampong Cot Cantek, Kecamatan Sakti, kepada Serambinews.com, Selasa (18/7/2023) menyebutkan, ia korban Rumoh Geudong yang telah didata PPHAM, yang belum diproses secara non-yudisial.
Dikatakan dirinya telah didata sejak tahun 2018 hingga terakhir didata saat kedatangan Presiden RI, Joko Widodo, datang ke Rumoh Geudong.
Tapi sedihnya nama Abdullah Gani diganti dengan nama lain
"Saya dua bulan ditahan di Rumoh Geudong. Sehingga saya sangat merasakan disetrum hingga ditendang," jelasnya.