Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perludem Minta Revisi UU MK Dihentikan

Titi menyoroti soal wacana perubahan syarat batas minimal usia hakim konstitusi dari 70 menjadi 55 tahun.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
zoom-in Perludem Minta Revisi UU MK Dihentikan
Ist
Sejumlah elemen Masyarakat Madani melakukan pernyataan sikap atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang memberhentikan dan melakukan penggantian terhadap Hakim Konstitusi Aswanto di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2022). 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dihentikan.

Titi menyoroti soal wacana perubahan syarat batas minimal usia hakim konstitusi dari 70 menjadi 55 tahun.

Menurutnya, rencana perubahan usia terhadap hakim konstitusi akan begitu mudah dibaca publik sebagai upaya intervensi terhadap kemandirian MK.

"Revisi UU MK apalagi salah satunya substansi perubahan usia, akan mudah sekali dibaca publik sebagai intervensi terhadap kemandirian Mahkamah Konstitusi melalu upaya menganggu hakim-hakim dengan pendekatan usia," kata Titi, kepada Tribunnews.com usai diskusi publik bertajuk 'Ancaman Demokrasi: Dinasti Politik, Netralitas Penyelenggara Pemilu, dan Politisasi Yudisial', di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Depok, Jawa Barat, pada Senin (11/12/2023).

Titi kemudian mengatakan, kepercayaan publik terhadap MK harus dijaga. Terutama dengan tidak memunculkan kontroversi-kontroversi terkait peradilan konstitus8 itu.

Oleh karena itu, ia meminta agar wacana revisi UU MK dihentikan oleh DPR.

Berita Rekomendasi

"Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah kontroversi yang lebih besar, saya kira sebaiknya revisi UU MK dihentikan, tidak dilanjutkan," kata Titi.

"Karena memang kalau dari sisi usia saya kira sudah selesai dengan UU yang lama, dan juga UU 7/2020 dan juga putusan MK yang sudah banyak menyangkut soal usia."

Lebih lanjut, Titi menuturkan, seharusnya DPR juga mempertimbangkan Putusan MK 81/PUU-XXI/2023.

"Ya seharusnya demikian (DPR pertimbangkan Putusan MK 81). Jadi kalaupun ada pemberlakuan untuk yang akan datang, tidak untuk menganggu yang sekarang sedang menjabat," katanya.

Baca juga: Tak Janjian Bertemu di GOR Badminton, Firli Bahuri Klaim Berulang Kali Minta SYL Pulang

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) belum disetujui pemerintah.

Mahfud mengatakan, belum ada keputusan rapat tingkat satu. Dimana, pemerintah dan bersama seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Daerah (DPR) bersama-sama menandatangani terkait revisi UU MK tersebut.

Ia juga mengaku, telah mengkomunikasikan hal ini dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.

 "Sampai sekarang ya saya sampaikan bahwa belum ada keputusan kemusyawaratan di tingkat satu, sehingga belum bisa, kan kita belum tanda tangan. Saya merasa belum tanda tangan, pak Yasonna (red, Menteri Hukum dan HAM) merasa belum tanda tangan. Jadi ya saya sampaikan ke DPR," kata Mahfud, dalan konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).

Mahfud mengungkapkan, pemerintah masih keberatan terhadap aturan peralihan yang disusun DPR. Menurutnya, dalam proses penyusunan aturan terkait jabatan perlu mempertimbangkan pedoman universal tentang hukum transaksional. 

Sebab, mantan Ketua MK itu menilai usulan DPR terkait revisi UU Mahkamah Konstitusi dapat merugikan hakim yang tengah menjabat.

Dalam kesempatan yang sama, Mahfud kemudian menyinggung Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023, yang dibacakan pada 29 November 2023 lalu. Putusan tersebut tentang uji materiil UU MK terkait syarat usia minimal hakim MK.

Dijelaskan Mahfud, salah satu pertimbangan MK dalam putusan tersebut pada intinya menyatakan, apabila terjadi perubahan undang-undang, tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang itu.

"Kalau diberlakukan terhadap jabatan itu harus yang menguntungkan atau sekurang-kurangnya tidak merugikan subjek yang bersangkutan. Kalau kita ikuti yang diusulkan oleh DPR, itu berarti itu akan merugikan subjek yang sekarang sedang menjadi hakim. Sehingga kita pada waktu itu tidak menyetujui," ucap Mahfud.

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Depok, Jawa Barat, pada Senin (11/12/2023).
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Depok, Jawa Barat, pada Senin (11/12/2023). (Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami)

Lebih lanjut, Menko Polhukam RI itu juga mengatakan, ia telah melaporkan soal aturan peralihan dalam revisi UU MK ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Momen Mahfud menyampaikan laporan itu diungkapkannya, berlangsung di Istana di sela-sela KTT ASEAN, pada 4 September 2023 lalu. 

Baca juga: Resmi Jadi Hakim MK, Ridwan Mansyur Mengaku Siap Tangani Perkara Pemilu

Mahfud menuturkan, saat itu ia tengah menunggu tamu dari negara lain untuk melakukan pembicaraan bilateral.

"Itu saya sudah melapor ke presiden, 'Pak, masalah perubahan undang-undang MK, yang lain-lain sudah selesai tapi aturan peralihan tentang usia kami belum clear dan kami akan bertahan agar tidak merugikan hakim yang sudah ada'. Nah jabatan baru ini yang baru masuk. 'Pak Menko silahkan'. Nah itu tanggal 4 sore. Di situ ada Menseskab, ada menteri lain juga di situ," tutur Mahfud.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas