Mahfud MD Cerita Peran LPSK Ungkap Kasus Ferdi Sambo, Kini Marak yang Mengadu Minta Perlindungan
Mahfud MD bercerita tentang peran LPSK dalam mengungkap kasus pembunuhan berencana Brigadir J oleh Ferdy Sambo, kini LSPK menjadi lembaga yang baik.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD bercerita tentang peran LPSK dalam mengungkap kasus pembunuhan berencana Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan kawan-kawan.
Menurut Mahfud kasus tersebut berhasil terungkap di antaranya karena komunikasi yang intens antara LPSK dan dirinya sebagai Menko Polhukam ketika kasus tersebut mencuat ke publik.
LPSK, kata dia, mampu meyakinkan saksi sekaligus korban dalam kasus tersebut yakni Bharada Eliezer untuk sehingga mengungkapkan peristiwa sebenarnya.
Hal tersebut disampaikan Mahfud dalam pidato kuncinya saat menghadiri Rembug Nasional Sahabat Saksi dan Korban untuk Indonesia di Ciawi Jawa Barat pada Rabu (20/12/2023).
"Perjuangan kita bersama, tektokan saya, Kemenko Polhukam, dengan LPSK itu membuahkan hasil dan kasus itu bisa diungkap dengan cukup sempurna," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan saat ini, sejumlah tantangan dalam upaya untuk memenuhi akses keadilan masih dihadapi.
Misalnya, kata dia, masih ditemukan adanya masyarakat yang tidak dapat mengakses proses hukum formal karena biaya, kurangnya mekanisme yang ramah dalam melaporkan keluhan, hingga ancaman terhadap saksi dan korban yang melaporkan adanya tindak pidana.
Padahal, kata dia, keberanian dan kejujuran saksi dan korban kerap kali menjadi kunci terkuaknya sebuah kasus hukum.
Perlindungan terhadap mereka, lanjut dia, sangat diperlukan agar keadilan sapat diwujudkan.
"Oleh karena itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban lahir dengan seiring ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban," kata dia.
UU tersebut, kata dia, telah menjamin adanya perlindungan terhadap saksi dan korban yang berperan melakukan pengungkapan pidana.
Salah satunya yaitu berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan.
Selain itu, kata dia, saksi dan korban tersebut berhak untuk mendapat identitas baru, mendapatkan tempat kediaman sementara atau kediaman baru, hingga memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindunga berakhir.
Sementara khusus untuk korban pelanggaran HAM berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat juga berhak memperoleh bantuan medis, bantuan psikososial, dan psikologis.
Mahfud juga mengungkapkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lembaga Studi dan alAdvokasi Masyarakat (LSAM) sejak tahun 1996 sampai 2006 sebelum lahirnya UU LPSK sedikitnya ada 39 saksi korban atau pelapor yang diadukan dengan pencemaran nama baik dan atau berbagai ancaman lainnya.
Baca juga: Kondisi Ibu di Jagakarsa yang 4 Anaknya Tewas Dibunuh Suami, LPSK akan Beri Perlindungan
Meskipun demikian, kata dia, bukan berarti, ancaman tersebut sepi setelah lahirnya LPSK.
Sesudah ada LPSK, kata dia, data tahun 2000 menunjukkan terdapat 1.450 pengaduan dan permohonan terkait saksi dan korban.
Tahun 2001, lanjut dia, menjadi sebanyak 2.182 pengaduan.
"Dan tahun 2022 meningkat menjadi 4.899 pengaduan. Banyak orang yag mengadukan karena diancam, dikriminalisasi, diteror dengan berbagai data," kata dia.
"Kenaikan jumlah pengaduan dan permohonan menjadi indikasi peningkatan pemahaman masyarakat akan haknya sesudah ada UU LPSK. Meningkatnya permohonan tersebut antara lain karena munculnya sejumlah kasus seperti Robot Trading, Pinjaman Online atau Pinjol, kasus pencucian uang, dan kekerasan seksual terhadap anak," sambung dia.
Mahfud mengatakan, Kemenko Polhukam juga terlibat aktif bersama LPSK untuk mengawal berbagai kasus.
Ia memcontohkan penyelesaian kasus pidana tertentu oleh oknun pegawai Kementerian Koperasi, kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat, hingga upaya pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa.
"Adanya peningkatan jumlah permohonan perlindungan terhadap LPSK menandakan bahwa kelembagaan LPSK sudah mulai populer di masyarakat dan para pencari keadilan," kata dia.
"Oleh karena itu perlu disertai penguatan terhadap kapasitas dan pengembangan kelembagaan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi LPSK dalam melindungi saksi dan korban," sambung dia.
Selain itu, ia juga mengapresiasi terobosan yang dikembangkan oleh LPSK dengan mengembangkan perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas yaitu membentuk Sahabat Saksi dan Korban.
Komunitas itu, kata dia, merupakan sekumpulan individu dan atau kelompok masyarakat yang ditetapkan oleh LPSK sebagai mitra dalam penyelenggaraan perlindungan saksi dan korban.
Pembentukan Sahabat Saksi dan Korban, kata dia, diharapakan dapat menjadi langkah penguatan peran kelompok masyarakat sipil dalam peningkatan akses terhadap keadilan dan dalam mewujudkan community based justice system khususnya dalam program perlindungan dan pemulihan saksi dan korban di Indonesia.
Pada tahun 2022, lanjut dia, LPSK telah mengukuhkan 548 Sahabat Saksi dan Korban di 7 wilayah strategis yang meliputi Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulsel, dan NTT.
Sedangkan hari ini, kata dia, LPSK mengukuhkan 243 Sahabat Saksi dan Korban di 3 wilayah baru yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
Ia berharap mereka menjadi bentuk perpanjangan tangan negara dalam penguatan layanan perlindungan saksi dan korban khususnya di wilayah-wilayah yang dapat dijangkau oleh LPSK.
Upaya untuk mengukuhkan Sahabat Saksi dan Korban, kata dia, merupakan wujud terhadap arah kebijakan pembangunan bidang hukum dalam RPJMN 2020-2024.
Khususnya, lanjut dia, untuk memperkuat akses layanan keadilan sebagaimana dirumuskan dalam progra prioritas nasional di bidang penegakan hukum.
"Program perlindungan saksi dan lorban berbasis komunitas ini merupakan sebuah model perlindungan kolaboratif yang di dalamnyamembuka ruang yang luas bagi individu, lembaga, maupun kelompok masyarakat sipil untuk terlibat dalam kerja-kerja LPSK," kata Mahfud.
"Program perlindunga berbasis komunitas ini diharapkan mampu menumbuhkan dan dapat meningkatkan kepedulian serta kesadaran masyarakat untuk memahami hak-haknya sebagai akibat terjadinya tindak pidana dalam proses peradilan," sambung dia.
Mahfud juga sempat bercerita ketika dirinya yang saat itu menjabat sebagai anghota DPR RI ikut dalam proses pembentukan UU LPSK.
Pada waktu itu, kata dia, banyak sekali keluhan yang ia dengarkan dari korban kriminalisasi yang takut berbicara.
"Banyak sekali orang punya kasus lalu saksi utamanya itu mati. Sehingga kita pada waktu itu di era reformasi harus ada lembaga instrumen hukum baru," kata dia.
"Alhamdulillah berdasar data tadi, kai, saya terutama saya pribadi yang dulu ikut mengusulkan dan membahas UU itu, merasa ada gunanya LPSK ini dibentuk. Apalagi ternyata kreatif, jyga LPSK ini membentuk Sahabat Saksi dan Korban yang dulu tidak pernah kita diskusikan sehingga jangkauan dari LPSK itu menjadi meluas," kata Mahfud.
Baca juga: Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK Teken MoU Pelindungan Darurat untuk Pembela HAM
Dalam acara tersebut, turut hadir para pimpinan LPSK dan juga Sahabat Saksi dan Korban yang dikukuhkan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.