Alumni ITB Ajak Pemerintah, Akademisi dan Pelaku Usaha Bicarakan Dampak AI
Pakar robotic ITB Augie menyoroti pentingnya pemahaman yang kritis terhadap AI, terutama dalam konteks akurasi dan pengambilan keputusan.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komunitas Discordia mengadakan diskusi berjudul 'AI: Big Push or Big Trouble' di Titik Temu Café SCBD membahas alternatif solusi kebijakan negara tentang pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk kepentingan publik.
Hadir menjadi pembicara Seterhen Akbar Suriadinata (Founder Labtek Indie), Ivan Sugiarto Widodo (Praktisi Bisnis IT) dan Hanief Adrian (Sekjen RMPG) dengan moderator Fariz Ariyadi.
Sejumlah akademisi juga hadir, diantaranya pakar robot ITB Dr. Augie Widyotriatmo, pakar komunikasi krisis Dr. Sudarto, dan Direktur Eksekutif IA-ITB Jakarta Stanno Yudha Putra, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) DKI Jakarta Adhamaski Pangeran, dan para penggiat dari kalangan muda Jakarta.
Pakar robotic ITB Augie menyoroti pentingnya pemahaman yang kritis terhadap AI, terutama dalam konteks akurasi dan pengambilan keputusan.
“AI tidak dapat dikatakan 100 persen tepat, contohnya ketika AI diperintahkan mendeteksi gambar mobil, ketika tidak ada gambar mobil dan AI menyatakannya ada disebut 'true negative'. Namun, jika AI gagal mendeteksi mobil yang ada, ini menjadi 'false negative',” kata Augie alumni lulusan Teknik Fisika ITB tersebut.
Augie menjelaskan bahwa AI adalah data-driven, di mana output sangat bergantung pada input data. Jika data yang dimasukkan salah, maka AI pun akan salah dalam membuat kesimpulan.
“Problem seperti ini menimbulkan pertanyaan etis dan akurasi yang harus selalu dikaji,” kata alumni doktor lulusan Pusan National University.
Terkait kontribusi yang bisa diberikan komunitas AI untuk pemerintah, Augie menyarankan perlunya solusi komprehensif dari tataran aturan atau etika agar AI tetap maju.
Dirinya juga menekankan pentingnya kontribusi positif dari individu dalam penggunaan AI untuk meminimalisir penyalahgunaan.
Sementara itu, Seterhen membahas dampak sosial AI mengingat bagaimana AI bisa menjadi alat penghancur atau pembantu dalam masyarakat, misalnya penggunaan AI oleh mahasiswa dalam proses akademik yang mungkin menimbulkan isu etis.
“Influencer di bidang AI perlu memberikan penjelasan tentang dampak sosial AI,” kata Seterhen yang akrab dipanggil Saska tersebut.
Saska membahas tentang tanggung jawab dan akuntabilitas dalam AI, terutama dalam konteks sistem otonom seperti mobil self-driving.
Pertanyaan hukum yang muncul ketika terjadi kecelakaan oleh AI menjadi topik penting
“Sebaiknya pakar dari ITB dan Hukum Unpad berdiskusi tentang potensi masalah seperti ini,” kata lulusan Teknik Elektro ITB tersebut.
Saska menilai AI cenderung menimbulkan bencana (doomsayer), meskipun teknologi AI sangat maju, regulasinya seringkali terlambat, dampaknya adalah manusia menghadapi ancaman bencana yang mengerikan.
“The truth of the world is that it is chaotic, nobody is in control. The world is rudderless,” kata Saska mengutip novelis Alan Moore.
Saska menyoroti pentingnya pandangan kritis dan terukur terhadap AI, serta pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi dalam mengembangkan dan mengatur AI untuk masa depan yang lebih baik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.