Mengenal Siapa Itu Pengungsi Rohingya hingga Alasan Mereka Diterima di Indonesia
Berikut asal usul pengungsi Rohingya yang mengungsi di Indonesia, hingga alasan pemerintah menerima mereka di Indonesia.
Penulis: Rifqah
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia untuk mencari tempat pengungsian ini ramai dibicarakan oleh masyarakat Indonesia.
Terlebih, adanya para pengungsi Rohingya itu menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat Indonesia.
Pasalnya, sebagian warga Indonesia tidak terima pengungsi Rohingya diterima di Indonesia karena kesenjangan sosial.
Mereka menganggap pemerintah tak memerhatikan warga lokal, karena malah mengurusi pengungsi Rohingya.
Namun, sebagian lainnya juga menyatakan menerima karena alasan kemanusiaan.
Lalu, siapa sebenarnya pengungsi Rohingya ini hingga sampai di Indonesia untuk mengungsi?
Kemudian, bagaimanakan sikap dari pemerintah Indonesia sendiri menyikapi hal tersebut?
Asal Usul Pengungsi Rohingya
Rohingnya merupakan kelompok etnis yang mayoritas beragama Islam yang populasinya mencapai 1,3 juta jiwa.
Mereka berasal dari Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha.
Etnis Rohingya memiliki bahasa dan budaya sendiri, serta mengklaim diri mereka sebagai keturunan pedagang Arab dan kelompok lain yang telah berada di wilayah tersebut selama beberapa generasi.
Lalu, apakah etnis Rohingya ini merupakan bagian dari Myanmar?
Sejarawan menyakini, komunitas Rohingya sudah tinggal di Myanmar selama berabad-abad.
Sehingga, hal yang diyakini adalah komunitas Rohingya merupakan bagian dari etnis di Myanmar.
Namun, saat Myanmar masih menjadi wilayah India di bawah penjajahan Inggris pada 1824-1948, terjadi migrasi pekerja dari India dan Bangladesh.
Nah, orang Rohingya yang beragama Islam ini dianggap sebagai orang Bengali dari Bangladesh yang penduduknya mayoritas Islam.
Lalu, ketika Myanmar merdeka, pemerintah menganggap migrasi di masa penjajahan sebagai tindakan ilegal dan menolak kewarganegaraan orang Rohingya.
Sehingga, etnis Rohingya tidak dianggap sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di negara tersebut.
Pemerintah Myanmar bahkan menolak memberi kewarganegaraan kepada orang Rohingya sejak 1982, saat menerbitkan Undang Undang Kewarganegaraan.
Akibatnya, orang-orang Rohingya ini menjadi populasi tanpa kewarganegaraan atau stateless terbesar di dunia.
Meski tak mempunyai kewarganegaraan, hampir seluruh warga Rohingya ini masih tinggal di Myanmar.
Tepatnya, mereka tinggal di wilayah termiskin Myanmar yang bernama Rakhine dan mereka tidak boleh keluar dari negara tersebut tanpa izin pemerintah.
Akibatnya, mereka kesulitan untuk belajar, menikah, menjalankan agama, bekerja, dan mendapatkan layanan kependudukan.
Kapan Krisis Kemanusiaan Rohingya Dimulai?
Orang-orang Rohingya yang tetap tinggal di Myanmar, selama puluhan tahun mengalami kekerasan, diskriminasi, dan persekusi di Myanmar.
Karena terus menerus mengalami kekerasan, pada 1970-an, orang-orang Rohingya ini mulai meninggalkan Myanmar.
Kemudian, puncaknya pada 2017, yakni tepatnya pada Agustus 2017, terjadi pengungsian terbesar.
Peristiwa ini menjadi eksodus terbesar dalam sejarah Rohingya.
Seluruh desa dibakar, ribuan keluarga dibunuh atau terpisah, dan pelanggaran hak asasi manusia membanjiri laporan-laporan lembaga kemanusiaan.
Lebih dari 742.000 orang terpaksa mengungsi ke negara tetangga di Bangladesh, setengah di antaranya adalah anak-anak.
Mereka tinggal di sekitar kamp-kamp pengungsian Kutupalong dan Nayapara di kawasan Cox's Bazar.
Kawasan Cox's Bazar termasuk salah satu kamp pengungsian terbesar dan terpadat di dunia.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, situasi di Cox's Bazar memburuk secara signifikan, sanitasi buruk, tingginya tingkat kriminalitas, serta kondisi lain yang memprihatinkan.
Bahkan, para pengungsi tidak diizinkan untuk bekerja dan bergantung pada bantuan dari The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), International Organization for Migration (IOM), serta pemerintah Bangladesh.
Sebagai informasi, UNHCR merupakan sebuah badan pengungsi dunia yang diberi mandat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk melindungi pengungsi dan membantu pengungsi mencari solusi bagi keadaan buruk para pengungsi internasional.
Karena kondisi di Cox's Bazar tersebut, mendorong sebagian pengungsi Rohingya untuk mengambil risiko meninggalkan tempat pengungsian demi mencari suaka di negara-negara lain.
Kemudian, hingga Agustus 2023, diperkirakan sudah ada lebih dari 1,8 juta pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri dari Myanmar.
Mereka meninggalkan negaranya dengan menaiki kapal kayu yang penuh orang dan tidak layak berlayar.
Informasi tambahan, meskipun sudah banyak yang meninggalkan Myanmar, menurut lembaga nirlaba Human Rights Watch memperkirakan masih ada 600.000 orang Rohingya yang tinggal di Rakhine dan terus mendapatkan kekerasan serta tidak diberi haknya.
Kemana Mereka Pergi?
Etnis Rohingya yang terus mendapatkan penyiksaan dan genosida itu mengharuskan mereka kabur untuk menyelamatkan diri.
Mayoritas orang Rohingya itu kemudian mengungsi ke Bangladesh.
Namun, pada Maret 2019, Bangladesh mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menerima Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Menurut laporan UNHCR, per 31 Oktober 2023, terdapat 1.296.525 pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan di beberapa negara.
Namun, sayangnya tak semua negara membuka tangan untuk para pengungsi Rohingya tersebut.
Sehingga, mereka terus mendapat penolakan dari sejumlah negara dan terus terombang-ambing di tengah lautan dengan kapal kayu seadanya.
Negara-negara yang melakukan penolakan itu, tentu mempunyai alasan mereka sendiri.
Disebutkkan, penyebabnya karena pengungsi Rohingya ini terus berdatangan dan rentan menimbulkan masalah sosial di wilayah-wilayah penampungan.
Selain itu, juga karena tak mampu lagi menampung lebih banyak pengungsi.
Namun, beberapa negara, termasuk Malaysia dan Indonesia, telah memberikan bantuan kemanusiaan dan tempat penampungan sementara untuk para pengungsi.
Bagaimana Sikap Warga Indonesia?
Di Indonesia, sebenarnya masih pro dan kontra nih soal Rohingya ini.
Pengungsi Rohinya itu pernah mengalami penolakan ketika datang ke Kabupaten Pidie dan Aceh Utara pada Kamis 16 November 2023 lalu.
Hal tersebut diketahui bukan kali pertamanya warga Aceh menolak para penungsi Rohingya.
Selama bulan November 2023, disebtukan warga Aceh sudah beberapa kali menolak kedatangan ratusan pengungsi Rohingya itu.
Alasannya, karena pemerintah setempat sudah tidak mampu menerima pengungsi dengan jumlah yang semakin banyak.
Selain itu, tidak ada pihak yang bisa bertanggung jawab atas kedatangan para pengungsi Rohingya, hingga membuat warga Aceh menolak mereka.
Tak hanya itu, alasan lain adalah berkaitan dengan masalah sosial, di mana orang Rohingya disebutkan mempunyai perilaku kurang baik dan tak patuh pada norma-norma masyarakat setempat.
Sebagai catatan, belum diketahui secara pasti, apakah seluruh warga Aceh itu menolak Rohingya atau hanya sebagian saja.
Sikap Pemerintah Indonesia
Diketahui, dalam hal ini, pemerintahan Indonesia sendiri pada dasarnya menerima para pengungsi Rohingya itu.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), bahwa Indonesia akan menampung sementara pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh.
"Saya sampaikan bahwa sementara, sementara, kita tampung," kata Jokowi kepada wartawan di Kali Sentiong, Jakarta, Senin (10/12/2023).
Namun, Presiden Jokowi tidak merinci dimana tempat penampungan untuk orang Rohingya.
Karena hingga saat ini, pihaknya masih berbincang dengan organisasi-organisasi internasional seperti UNHCR.
Pemerintah Indonesia, kata Presiden Jokowi, hingga saat ini juga sedang mencari solusi untuk mengatasi masalah Rohingya ini.
"Sementara, dan kita masih berbicara dengan organisasi-organisasi internasional, UNHCR dan lain-lain, karena memang masyarakat lokal tidak menginginkannya," ujarnya.
Meskipun demikian, Presiden Jokowi mengaku tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat lokal.
Presiden Jokowi juga menduga adanya keterlibatan jaringan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia.
"Saya memperoleh laporan mengenai pengungsi Rohingya yang semakin banyak yang masuk ke wilayah Indoensia terutama Provinsi Aceh. Terdapat dugaan kuat ada keterlibatan jaringan TPPO dalam arus pengungsian ini," kata Jokowi.
Menindaki hal tersebut, Presiden Jokowi pun mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia akan menindak tegas pelaku TPPO itu.
Namun, di sisi lain, pemerintah Indonesia juga tetap akan memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya.
"Bantuan kemanusiaan sementara kepada pengungsi akan diberikan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal," kata Jokowi.
Wakil Presiden (Wapres) RI, Maruf Amin juga sempat mengusulkan menjadikan Pulau Galang, di Kota Batam, Riau sebagai lokasi penempatan pengungsi rohingya dengan alasan kemanusiaan.
Sebelumnya, Pulau Galang juga digunakan untuk menampung pengungsi Rohingya dan pengungsi asal Vietnam beberapa puluh tahun silam.
"Penempatannya di mana? Dulu pernah kita menjadikan Pulau Galang untuk pengungsi Vietnam. Nanti kita akan bicarakan lagi apa akan seperti itu."
"Saya kira pemerintah harus mengambil langkah-langkah (solutif)," kata Ma'ruf Amin di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat yang disiarkan di kanal YouTube Wakil Presiden RI.
"Mereka (pengungsi Rohingya), bagaimanapun ini kemanusiaan. Karena kemanusiaan, harus kita tanggulangi," kata dia.
Ma'ruf Amin mengungkapkan, pengungsi Rohingya tidak mungkin ditolak.
Namun, sebelum ditampung, pemerintah Indonesia tentu perlu menyiapkan berbagai antisipasi.
Alasan Rohingya Tetap Diterima di Indonesia
Salah satu alasan pengungsi Rohingya ini diterima di Indonesia karena adanya Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Dalam Perpres 125 Tahun 2016 itu disebutkan penanganan pengungsian harus memperhatikan ketentuan internasional.
Selain itu, dalam aturan itu juga menyebutkan penanganan juga menimbang undang-undang yang berlaku.
Di mana, secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 3, bahwa penanganan untuk pengungsi meliputi penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian.
Berdasarkan laman resmi UNHCR, terdapat juga prinsip non-refoulement yang mengakibatkan pengungsi Rohingya diterima di Indonesia.
Prinsip non-refoulement ini merupakan salah satu prinsip utama perlindungan pengungsi yang dijamin hukum internasional.
Di mana, dalam prinsip ini mengatur bahwa negara penampung dilarang mengembalikan para pengungsi ke negara asalnya.
Alasannya, karena dikhawatiran akan mendapatkan penganiayaan sehingga nyawa dan atau kebebasannya terancam.
Prinsip ini telah memperoleh pengakuan sebagai Hukum Kebiasaan International yang mengikat semua negara di dunia tanpa terkecuali sebagai suatu sumber hukum internasional.
Ditambah, para pengungsi juga berhak menerima sejumlah bantuan seperti hak atas perumahan, pekerjaan, pendidikan, dll.
Seluruh aturan itu pula telah diatur dalam konvensi 1951 dan Protokol 1967.
Disarikan dari UNHCR Indonesia, walaupun Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967, serta belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.
Berkaitan dengan kasus pengungsi Rohingya di Indonesia ini, UNHCR Indonesia membantu pemerintah dalam menangani masalah pengungsi dan membantu mencari solusi bagi pengungsi.
Selama pengungsi Rohingya tinggal di Indonesia, UNHCR juga berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk memastikan kebutuhan pengungsi terpenuhi dan mereka dapat hidup bermartabat.
(Tribunnews.com/Rifqah/Dewi Agustina)