Soal Kecurangan Pemilu di Film Dirty Vote, Pengamat: Publik Miliki Perasaan dan Pandangan Sama
Ray Rangkuti menilai paparan tentang dugaan kecurangan Pemilu 2024 yang masif di film dokumenter Dirty Vote juga menjadi persepsi luas di masyarakat.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menilai paparan tentang dugaan kecurangan Pemilu 2024 yang masif di film dokumenter Dirty Vote juga sudah menjadi persepsi luas di masyarakat.
Isi film Dirty Vote tersebut berisi kritik terhadap Presiden Jokowi dan penyelenggara Pemilu 2024 agar berjalan lebih demokratis dan jujur serta adil.
Ray sendiri memandang materi dalam film Dirty Vote tersebut mewakili perasaan dan pandangan masyarakat mengenai Pilpres 2024.
"Perasaan dan pandangan yang sama yang menghinggapi puluhan atau bahkan ratusan pemilih Indonesia dalam menghadapi pelaksanaan pemilu dan Pilpres 2024 ini," kata Ray kepada Tribunnews.com Selasa (13/2/2026).
Perasaan adanya sesuatu yang tidak beres, kata Ray. Sesuatu yang sebenarnya diketahui tetapi tak sepenuhnya dipahami atau diyakini.
"Sesuatu yang terasa tapi tak sepenuhnya terucapkan apalagi terungkap. Berbagai praktek yang diduga sebagai pelanggaran pemilu berseliweran di depan mata, tapi tidak dengan berani diungkapkan," sambungnya.
Atas hal itu ia menilai dengan adanya film tersebut bukan saja menerangkan fakta yang ada. Tetapi juga menempatkannya dalam cara pikir akademis.
"Serta memberi penjelasan utuh bahwa semua cerita-cerita itu menuju satu alur yang sudah diatur: menggapai kemenangan dengan cara tidak halal. Satu pikiran yang menggurita di benak banyak orang," tegasnya.
Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud: Film Dirty Vote Ungkap Kecurangan Pemilu Secara Masif
Ray juga menilai publik bukan saja merasa terwakili, tapi sekaligus menunjukan keresahan, kegetiran bahkan mungkin perlawanan.
"Melawan apa yang selama ini dipertontonkan dengan telanjang: keangkuhan kekuasaan, ketiadaan akhlak demokrasi dan penghormatan pada konstitusi dan aturan," kata Ray.
"Semua, seperti dimonopoli, ditafsirkan sendiri sesuai dengan kepentingan ingin tetap berkuasa. Satu perlawanan yang ditunjukan dengan diam menikmati tayangan. Yang sebenarnya ekspresi awal dari sikap perlawanan publik itu," tegasnya.
Baca juga: Kata Walhi soal Film Dirty Vote: Bantu Kita Menentukan Pilihan 14 Februari Mendatang
Diberitakan sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil baru saja merilis film dokumenter Dirty Vote. Sutradara Dandhy Laksono mengungkap alasan film ini dirilis dimasa tenang pemilu.
Dirty Vote diketahui tayang mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan akan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal Youtube.
Ia menyebut, karya besutannya akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu.
Diharapkan di tiga hari krusial menuju hari H pencoblosan, film ini memberikan edukasi kepada publik melalui ruang dan forum diskusi yang digelar.
"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara." ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (12/2/2024).
Baca juga: Film Dokumenter Dirty Vote Ceritakan Instrumen Kekuasaan untuk Curangi Pemilu
Dandhy mengungkap, berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.
Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira mengatakan, dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.
20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Film ini dibintangi oleh Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Dalam film ini ketiganya mencoba mengulik sejumlah instrumen kekuasaan yang digunakan untuk memenangkan pemilu sekalipun menabrak tatanan demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil mengatakan, penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.