Prakerja dan Asa Perempuan di Tapal Batas Negeri
Wendriaty Laune Mangole (34) menceritakan kisahnya untuk bisa berdaya demi perbaikan nasib orang tuanya.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, TALAUD - Tangis Wendriaty Laune Mangole (34) pecah kala berkisah mengenai perjuangannya sebagai perempuan dari Desa Bannada, Kecamatan Gemeh, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara untuk bisa berdaya demi perbaikan nasib orang tuanya.
Debur ombak di sekitar pun tak mampu meredam suara isak tangisnya pada senja hari, Sabtu (16/3/2024).
"Mau banggain orang tua. Terus mau buktiin ke suami kalau saya bisa," ujar Wendri terbata-bata karena menangis, sembari menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan.
Dengan lirih, dia bercerita bahwa sebagai perempuan dari desa tertua di Talaud, mimpi untuk berdaya, bagaikan peribahasa Pungguk Merindukan Bulan alias mustahil diraih.
"Saya maunya, hati kecil itu, pingin kerja sendiri, pingin punya penghasilan sendiri biar saya itu bebas kasih ke orang tua. Kan kalau gajinya suami kita sebagai perempuan itu, memang suami enggak marah, suami baik, tapi kitanya perasaannya tidak enak ngasih orang tua," katanya dengan air mata berlinang.
Baca juga: Prakerja Bakal Tambah Kuota Peserta di Talaud Sulawesi Utara
Aula Rumah Bupati Talaud saat itu seolah menjadi saksi bisu betapa Wendri berupaya menenangkan dirinya agar dapat lanjut berkisah.
Setidaknya soal menyeberang antarpulau yang mesti dilakukan untuk mendapat sinyal internet pada 2021 silam.
Dia bercerita bahwa sinyal internet di desanya yang masuk dalam wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) tak selalu "reliable."
Baca juga: Temu Alumni Prakerja di Manado, Tekankan Pentingnya Upskilling dan Reskilling
Padahal sinyal yang mumpuni merupakan kebutuhan dasar untuk belajar, termasuk mengikuti pelatihan Prakerja secara daring.
Bahkan katanya, dia sampai harus berbohong kepada suami demi mendapat sinyal internet.
"Kebetulan saya ibu rumah tangga dan saya ikut Prakerja, suami tidak tahu. Takut kan kalau kasih tau suami. Kalau ada jaringan kadang ikut 1 hari 1 kali 1 jam lewat handphone. Kalau enggak ada jaringan kadang-kadang kalau suami kerja, curi-curi, pura-puranya ikut ke Kodim," ujarnya.
Selain ikut ke tempat dinas suami, belanja ke pasar juga menjadi momen Wendri untuk curi-curi ikut pelatihan daring Prakerja.
Perjalanan dua jam ke Kecamatan Beo pun rela ditempuh untuk mengikuti setidaknya satu sesi pelatihan.
"Kalau kesulitan mencari signal kadang bilang ke suami 'Ayo ke Beo' karena kita belanjanya ke Beo. Itu perjalanan kalau dulu 2021 itu 2 jam karena jalannya becek," katanya.
Pelatihan yang diambilnya saat itu tentang Microsoft Excel pada Gelombang ke-15 Prakerja.
Bukan tanpa alasan, topik tersebut diambil lantaran kebutuhan untuk seleksi menjadi admin sekolah di desanya.
Berbekal pelatihan tersebut, dia lolos seleksi dan dikontrak dengan status tenaga harian lepas (THL) pada April 2021.
"Gelombang 12,13,14 tes tidak lulus, yang lulus gelombang 15. Setelah ikut pelatihan itu ternyata ada penerimaan THL dari Pemprov Sulawesi Utara. Pelatihannya enggak lama sih, satu bulanan," ujar Wendri.
Sebelum Microsoft Excel, dia juga pernah mengikuti pelatihan Bahasa Mandarin untuk Pemula serta pelatihan Meracik Kopi.
Pelatihan Meracik Kopi dipilihnya karena rasa penasaran.
Sedangkan pelatihan Bahasa Mandarin dipilih karena terdorong oleh pengalamannya selama menempuh jenjang pendidikan Strata-2.
"Kebetulan waktu kuliah 2019 saya curi-curi, jalan-jalan ke Malaysia, saya ketemu orang Cina. Jadi kalo orang Cina itu kan susah Bahasa Inggrisnya, hanya pakai Bahasa Mandarin. Makanya saya mau ikut pelatihan Bahasa Mandarin supaya saya bisa komunikasi dengan teman," katanya.
Meski banyak pertentangan pada awal perjalanan, asa untuk menjadi perempuan berdaya tetap dirawatnya.
Hasilnya, kini keluarga dan lingkungan sekitarnya mendukung perjuangannya untuk terus mengabdi kepada tanah air.
Dengan mantap, ibu tiga anak itu berprinsip tak seorangpun bisa menghalangi tekadnya.
"Jadi saya itu mau buktikan kalau anak petani bisa kuliah S2, bisa jalan-jalan ke luar negeri biar memotivasi anak-anak di kampung. Walaupun saya sudah berkeluarga, sudah punya tiga anak, tapi saya punya cita-cita dan saya tidak akan mengalah dengan siapa pun yang bilang saya tidak bisa melalui itu," ujarnya.
Bahkan ke depannya, ia berniat untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang Strata-3 di India.
Beasiswa dari Pemerintah India, yakni Indian Council for Cultural Relation (ICCR) pun diincarnya untuk menimba ilmu di bidang sejarah.
Alasannya sederhana, ingin membuktikan bahwa kampung halamannya merupakan desa tertua di Talaud.
"Mau S3 di India ambil jurusan Sejarah karena ingin membantu ayah yang kebetulan ketua adat di kampung untuk membuktikan bahwa Desa Bannada adalah kampung tertua di Kabupaten Kepulauan Talaud," ujarnya.
Tindak Lanjut Manajemen Prakerja
Kisah Wendri hanyalah satu dari 30 alumni Prakerja Talaud yang tak main-main perjuangannya untuk meningkatkan kualitas hidup, bahkan sampai berdampak ke sekitar.
Dari kisah para alumni di batas negeri, Manajemen Prakerja kemudian bertekad untuk terus mempertahankan pelatihan-pelatihan yang memang dibutuhkan masyarakat di seluruh pelosok negeri.
Jenis-jenis pelatihan yang terkesan "white collar" memang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional, seperti Artificial Intelligence (AI) dan cyber security.
Namun bagi masyarakat di wilayah 3T seperti Wendri, daripada AI dan cyber security, pelatihan administrasi dan kewira usahaan jauh lebih dibutuhkan.
"Ini sebenarnya memperkuat konklusi kita bahwa pelatihan prakerja tidak boleh terlalu elitis. Sekarang sebenarnya kita sudah benar positioning-nya bahwa kita punya pelatihan (Microsoft) Word sampai denan pelatihan AI atau cyber security atau bahkan menggunakan Chat GPT untuk digital marketing," ujar Direktur Eksekutif PMO Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari dalam wawancara khusus di Manado pada Minggu (17/3/2024) malam.
Menurut Denni, Indonesia terlalu besar untuk sekadar di-capture menggunakan data.
Karena itu, turun langsung ke pelosok-pelosok, termasuk tapal batas negeri merupakan sebuah keniscayaan.
Hal itu mesti dilakukan untuk menghindari bias pandangan pihaknya sebagai perwakilan pemerintah pusat yang lama hidup di kota besar.
"Bagaimana kita bisa wise, bukan kemudian sekadar rely on data yang available. Enggak bisa. Indonesia ini terlalu besar untuk kita secara naif, 'Oh saya berdasarkan data yang ada,' Tidak bisa. You akan bias terhadap top piramida. Sementara yang kita mau upayakan untuk mengangkat kemampuan itu justru yang PR besar kita itu yang menengah, yang nanggung sebenarnya," katanya.