DPR Sentil Anak Buah Nadiem Buntut Sebut Kuliah Kebutuhan Tersier: Kurang Mendidik
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Nuroji kritik pernyataan anak buah Mendikbudristek, Nadiem Makarim.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Nuroji, menyesalkan pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie.
Tjitjik sempat menyatakan, bahwa Perguruan Tinggi merupakan kebutuhan tersier.
Hal itu ia sampaikan saat menanggapi gelombang kritikan terkait melonjaknya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi.
Nuroji mengatakan, pernyataan itu kurang mendidik bagi masyarakat karena seolah menganggap pendidikan tinggi bukanlah perihal penting.
Nuroji dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan pernyataan anak buah Mendikbudristek, Nadiem Makarim, itu.
"Tentu saja saya sampaikan sangat tidak setuju bahwa pendidikan tinggi itu dianggap urusan tersier, apalagi yang menyampaikan adalah pejabat dari kementerian Dikti."
"Ini saya rasa sangat kurang mendidik bagi masyarakat, seolah-olah kuliah itu tidak penting," kata Nuroji, Selasa (21/5/2024).
Nuroji menilai, pernyataan yang disampaikan Tjitjik bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam UUD, kata Nuroji, tertuang bahwa setiap negara wajib memberikan pendidikan kepada rakyatnya.
"Bahkan memberikan mandatory spending 20 persen. Nah ini sebetulnya kita harus perjuangkan supaya SDM kita, masyarakat kita lebih banyak lagi yang bisa dibiayai oleh negara untuk perguruan tingginya," ujarnya.
Baca juga: Cerita Mahasiswa UNY soal Dugaan Intimidasi usai Kritik Kenaikan UKT hingga Klarifikasi Pihak Kampus
Sebelumnya, Tjitjik merespons banjir kritikan dari sejumlah kalangan mengenai melonjaknya UKT dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/5/2024) pagi.
Tjitjik saat itu mengatakan, biaya UKT tetap mempertimbangkan seluruh kelompok masyarakat dan tetap mengikuti panduan yang berlaku.
"Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik.
Dengan demikian, lanjutnya, sebenarnya tidak ada keharusnya setiap lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi.
"Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA (SMA)/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan."
"Berbeda dengan wajib belajar SD, SMP, SMA," lanjutnya.
Karena merupakan pendidikan tersier, Tjitjik menegaskan bahwa pendanaan pemerintah lebih difokuskan pada wajib belajar.
"Apa konsekuensinya karena ini pendidikan tersier? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan untuk pembiayaan wajib belajar," ujarnya.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Rizki Sandi Saputra)