Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Eksepsi Gazalba Saleh, Pakar Hukum UI Singgung Penguatan UU KPK

Febby Mutiara Nelson, menyebut, eksepsi terdakwa Gazalba Saleh terkait dengan penuntutan dan surat dakwaan tidak dapat diterima

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Sri Juliati
zoom-in Eksepsi Gazalba Saleh, Pakar Hukum UI Singgung Penguatan UU KPK
law.ui.ac.id
Ketua Asosiasi Laboratorium Hukum se-Indonesia, Dr. Febby Mutiara Nelson di Universitas Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM - Kasus yang nenyeret Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh masih hangat dibincangkan dan menjadi sorotan kalangan pemerhati hukum.

Dikabulkannya eksepsi atau nota keberatan Gazalba Saleh membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan upaya hukum banding atas putusan sela majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Majelis hakim diketahui menerima eksepsi Gazalba Saleh, yang mana perintahnya adalah diharuskan keluar dari Rutan KPK.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menilai, jaksa KPK tidak berwenang mengadili Gazalba Saleh lantaran tidak menerima kewenangan untuk menuntut dari Jaksa Agung.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Febby Mutiara Nelson, menyebut, eksepsi terdakwa Gazalba Saleh terkait dengan penuntutan dan surat dakwaan tidak dapat diterima karena penuntut umum pada KPK tidak menerima pendelegasian wewenang dari Jaksa Agung;

Hal ini lanjutnya, sesuai Pasal 35 Ayat 1 huruf j UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2021 (“UU Kejaksaan”), Jaksa Agung mempunyai wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan.

Juga sejalan dengan azas single prosecution system, asas een en ondelbaar (satu dan tidak terpisahkan) dan asas opportunitas.

Berita Rekomendasi

"Berdasarkan asas dominunus litis, kejaksaan dan penuntut umum menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung.B Lalu berdasarkan asas single prosecution system dan dominus litis hanya jaksa agung yang menjadi penuntut umum yang memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan penuntutan pidana di Indonsia," terangnya pada Minggu (9/6/2024).

Menurut Febby  Jaksa di KPK tidak serta merta menjadi JPU yang menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung selaku penuntut tunggal sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 51 ayat (1) UU KPK.

Hal tersebut juga terdapat dalam pertimbangan hakim pada putusan kasus korupsi satelit kementerian pertahanan dengan terdakwa Surya Witoelar, di mana oditur militer mendapat pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung.

Majelis hakim berpendapat karena jaksa KPK tidak dapat menunjukkan dan membuktikan di persidangan adanya pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI, maka direktur penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan tidak berwenang melakukan penuntutan perkara Tindak Pidana Korupsi dan TPPU.

Baca juga: Pakar Sebut Perlunya Kolaborasi Aparat Penegak Hukum dalam Penuntutan Hakim Agung Gazalba

"Menyikapi putusan tersebut, kita perlu merenungkan, memikirkan dan menelaah dengan teliti dan hati- hati," ujarnyam

Dalam hukum, lanjutnya, mengenal asas lex spesialis derogat legi generali, di mana Kejaksaan Agung bekerja berdasaarkan UU Kejaksaan, sementara KPK bekerja berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2019 (“UU KPK”).

Di dalam UU tersebut, KPK diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Sehingga KPK dengan UU-nya sendiri dinilai tidak memerlukan persetujuan Jaksa Agung untuk melakukan penuntutan.

Berdasarkan Pasal 6 UU KPK dinyatakan bahwa tugas dan kewenangan KPK adalah melakukan pencegahan, koordinasi, monitoring dan menuntut.

Namun demikian berdasarkan Pasal 12 A UU KPK juga dinyatakan dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut pada KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.

"Jika kewenangan KPK di bawah jaksa Agung maka independesi KPK pada UU KPK bertentangan dengan Pasal 3 UU KPK," tegasnya.

"Tetapi ada celah dari UU KPK yang membuat hal ini masih bisa diperdebatkan oleh ahli hukum yaitu, penghapusan Pasal tentang kewenangan menuntut oleh Komisioner KPK, yang mana sebelumnya kewenangan ini diatur."

Febby mengatakan, putusan hakim terhadap perkara Gazalba ini membutuhkan pengujian kembali.

Dia pun mengajak masyarakat menunggu hasil upaya hukum yang kabarnya akan dilakukan oleh KPK.

Seiring dengan hal itu Febby berharap hasil yang terbaik bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Pasalnya, ia mengakui langkah yang dilakukan oleh KPK untuk melakukan banding sudah selayaknya, tetapi alangkah lebih baiknya, UU KPK kembali dikuatkan keberadaaannya.

Yakni agar tidak menimbulkan keraguan bagi hakim dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Di sisi lain permasalahan Azas Dominus Litis dan Azas Een En Ondelbaar perlu dikuatkan pula posisinya pada Hukum Acara di Indonesia.

Perlu dilakukan duduk bersama oleh para pemangku kepentingan untuk mengembalikan fungsi penuntutan dibawah kewenangan Jaksa Agung sebagaimana seharusnya, agar para penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana korupsi tidak lagi menimbulkan permasalahan.

Soal Kasus

Gazalba Saleh adalah hakim agung sekaligus hakim senior yang menjadi terdakwa dugaan gratifikasi dan pencucian uang Rp62,8 miliar.

Senin (27/5/2024), majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menerima nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh Gazalba Saleh yang merupakan terdakwa gratifikasi dan TPPU dalam kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).

Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa Direktur Penuntutan KPK tidak memiliki wewenang dan tidak berwenang melakukan penuntutan dalam kasus Gazalba Saleh karena tidak ada surat pendelegasian dari jaksa agung. Sehingga surat dakwaan jaksa KPK dianggap tidak dapat diterima.

Adapun hakim yang menangani perkara Gazalba Saleh adalah Fahzal Hendri, Rianto Adam Pontoh, dan hakim Ad Hoc Sukartono.

Atas dasar itu, majelis hakim memerintahkan jaksa KPK melepaskan Gazalba dari tahanan. Pada Senin malam, Gazalba resmi keluar dari Rutan K4 KPK.

Ini merupakan kemenanangan keduanya kalinya bagi Gazalba.

Gazalba sebelumnya sempat menghirup udara bebas setelah KPK menahannya sejak 8 Desember 2022 dalam kasus dugaan penerimaan suap pengurusan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.

Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung kemudian menyatakan Gazalba tidak bersalah.

Ia kemudian dibebaskan dari Rutan Pomdam Jaya Guntur tepat malam hari setelah putusan dibacakan pada 1 Agustus 2023 lalu.

KPK lalu mengajukan kasasi ke MA. Namun, upaya hukum terakhir itu ditolak. Gazalba pun dinyatakan bebas.

(Tribunnews.com/Chrysnha, Ilham Rian)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas