Karen Agustiawan Terbukti Melakukan Korupsi, Divonis 9 Tahun Penjara Hingga Hal-hal yang Meringankan
Vonis yang dibacakan oleh Hakim Ketua Maryono itu lebih ringan ketimbang tuntutan yang dijatuhi Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 11 tahun.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan divonis 9 tahun penjara terkait kasus korupsi pengadaan proyek gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina periode 2011–2021.
Adapun vonis itu dibacakan Hakim Ketua Maryono dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024) malam.
Dalam perkara ini hakim menyatakan, Karen terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana yang tertuang dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca juga: Momen Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Dapat Pelukan dari Kerabat Jelang Sidang Vonis
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 tahun," ujar Hakim Maryono dalam amar putusannya.
Selain pidana penjara, Karen juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp 500 juta atas perkara yang ia lakukan tersebut.
"Dengan ketentuan bila denda itu tidak dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," ucap Hakim.
Praktis vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Karen ini lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca juga: Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Dituntut 11 Tahun Penjara di Kasus Korupsi Proyek LNG
Tuntutan JPU
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK sebelumnya mendakwa Karen Agustiawan melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan LNG di Pertamina periode 2011–2021.
Jaksa mendakwa perbuatan Karen itu merugikan keuangan negara sebesar 113,8 juta dolar AS atau Rp1,77 triliun.
Jaksa menyebut tindak pidana itu memperkaya Karen bersama SVP Gas and Power PT Pertamina periode 2013-2014, Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina 2012-2014, Hari Karyuliarto sebesar Rp1,09 miliar dan 104.016 dolar AS. Perbuatan itu juga memperkaya Corpus Christi Liquefaction (CCL) sebesar 113,83 juta dolar AS.
Dipaparkan, PT Pertamina melakukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada periode 2011–2021.
Namun, Karen tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris PT Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Meski tanpa tanggapan dewan komisaris dan persetujuan RUPS, Yenni mewakili Pertamina menandatangani LNG sales and purchase agreement dengan Corpus Christi Liquefaction.
Kemudian, Hari Karyuliarto menandatangani pengadaan LNG tersebut untuk tahap dua, yang juga tidak didukung persetujuan Direksi di PT Pertamina dan tanggapan tertulis dari Dewan Komisaris dan persetujuan RUPS PT Pertamina.
Selain itu, pengadaan itu dilakukan tanpa adanya pembeli LNG yang telah diikat dengan perjanjian.
Jaksa mendakwa Karen Agustiawan melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jaksa KPK pun menuntut majelis hakim agar menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 11 tahun.
Selain pidana badan, Karen juga dituntut dijatuhi pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan serta pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1.091.280.281,81 dan 104,016.65 dolar AS.
Baca juga: Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Dituntut 11 Tahun Penjara di Kasus Korupsi Proyek LNG
Hal yang Meringankan
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah menjatuhi vonis 9 tahun penjara terhadap mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG).
Meski begitu vonis yang dibacakan oleh Hakim Ketua Maryono itu lebih ringan ketimbang tuntutan yang dijatuhi Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 11 tahun.
Terkait hal ini, Hakim pun memiliki pertimbangan meringankan dalam menjatuhi vonis terhadap Karen Agustiawan.
Adapun salah satu hal meringankan yakni Karen dianggap telah mengabdikan diri kepada PT Pertamina meski telah mengundurkan diri.
"Terdakwa mengabdikan diri pada Pertamina meski telah mengundurkan diri," ujar Hakim Maryono saat membacakan pertimbanganya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024).
Selain itu Hakim juga berpandangan bahwasanya Karen berlaku sopan selama menjalani persidangan serta tidak memperoleh hasil tindak pidana korupsi.
"Terdakwa memiliki tanggungan keluarga," ujar Hakim.
Tak hanya hal meringankan, Hakim juga mempertimbangkan hal memberatkan dalam memutus 9 tahun terhadap Karen Agustiawan.
Adapun dalam kasus itu, perbuatan Karen dianggap tidak mendukung program pemerintah yang dinilai tengah gencar-gencarnya memberantas praktik korupsi.
"Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara,"pungkasnya.
Baca juga: Pihak KPK Tuding Jusuf Kalla Membangun Opini saat Jadi Saksi Meringankan Karen Agustiawan
Konstruksi Perkara
Sekitar tahun 2012, PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia di kurun waktu 2009-2040 sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN (Persero), Industri Pupuk dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
"GKK alias KA yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri di antaranya perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction, tidak dibacakan) LLC Amerika Serikat," kata Firli Bahuri saat masih menjabat sebagai Ketua KPK dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023).
Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, lanjut Firli, Karen secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris Pertamina.
Selain itu, kata Firli, pelaporan untuk menjadi bahasan dilingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah, tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
"Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia," jelas Firli.
Atas kondisi oversupply tersebut, ujar Firli, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina.
Atas perbuatannya, Karen Agustiawan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.