Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Apa Itu Bediding? Fenomena yang Bikin Udara jadi Lebih Dingin Akhir-akhir Ini

Bediding adalah perubahan suhu yang mencolok, khususnya di awal musim kemarau. Sejumlah wilayah merasakan cuaca lebih dingin dibanding biasanya.

Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Apa Itu Bediding? Fenomena yang Bikin Udara jadi Lebih Dingin Akhir-akhir Ini
Tribun Bali/Net
Ilustrasi Cuaca Dingin -- Bediding adalah perubahan suhu yang mencolok, khususnya di awal musim kemarau. 

TRIBUNNEWS.COM - Beberapa hari terakhir, sejumlah wilayah di Indonesia merasakan cuaca lebih dingin dibanding biasanya, terutama saat malam dan pagi hari.

Ternyata, ini merupakan fenomena bediding atau hawa dingin mencolok saat memasuki puncak kemarau.

Suhu dingin tersebut terpantau dialami sejumlah wilayah dia antaranya Jawa Tengah, Yogyakarta hingga Jawa Timur.

Melansir Kompas.com, di Kota Semarang, suhu normal malam hari yang rata-rata berkisar 25 derajat celcius menjadi 22 derajat celcius, bahkan lebih rendah lagi.

Di kawasan pegunungan seperti Dieng di Wonosobo, suhu mencapai nol derajat celcius hingga menyebabkan empun upas yang sekilas seperti salju.

Lantas apa itu bediding?

Melansir laman BMKG, bediding dalam bahasa Jawa bedhidhing, adalah istilah untuk menyebut perubahan suhu yang mencolok, khususnya di awal musim kemarau.

Berita Rekomendasi

Suhu udara menjadi sangat dingin menjelang malam hingga pagi hari.

Sementara di siang hari, suhu melonjak hingga panas menyengat.

Fenomena bediding dalam konteks klimatologi merupakan hal normal, karena memang proses fisinya berkaitan dengan kondisi atmosfer saat musim kemarau.

Pada musim kemarau, umumnya jarang terjadi hujan di mana tutupan awan berkurang.

Baca juga: Prakiraan Cuaca Jabodetabek Hari Ini Selasa, 16 Juli 2024: Jakarta Barat Cerah, Bogor Berawan

Sehingga panas permukaan bumi akibat radiasi matahari lebih cepat dan lebih banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer berupa radiasi balik gelombang panjang.

Dengan curah hujan yang kurang maka kelembaban udara juga rendah yang berarti uap air di dekat permukaan bumi juga sedikit.

Bersamaan dengan kondisi langit yang cenderung bersih dari awan, maka panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke atmosfer luar.

Sehingga, membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi hari.

Kondisi ini umum terjadi di wilayah Indonesia dekat khatulistiwa hingga bagian utara.

Pada wilayah yang dekat khatulistiwa, meski pagi hari cenderung lebih dingin, namun siang hari udara akan terasa lebih panas.

Sementara pada wilayah selatan Indonesia seperti Sumatra Selatan, Jawa bagian selatan hingga Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) pada siang hari suhu udara juga akan lebih rendah dari periode bulan lainnya.

Fenomena ini cukup terasa pada bulan Juli, di mana saat ini angin timuran atau monsun Australia yang kering mengalir melewati wilayah-wilayah tersebut.

Pada bulan Juli juga merupakan puncak musim dingin Australia, sehingga udara dingin mengintrusi masuk wilayah Jawa bagian selatan hingga Bali, NTT dan NTB.

Dampaknya, meskipun kemarau di mana siang hari matarahari bersinar terang tanpa hambatan awan, namun udara dingin dari aliran monsun Australia lebih dominan memengaruhi penurunan suhu udara pada siang hari.

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Kompas.com/Titis Anis Fauziyah)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas