Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pilkada: Manusia Lawan Kotak Kosong? Malu Dong!

Saat ini para elit partai politik seolah membuat Pilkada sebagai main-mainan saja sebagaimana dilakukan anak-anak.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Pilkada: Manusia Lawan Kotak Kosong? Malu Dong!
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/8/2024). Aksi ini kembali dilakukan dalam rangka mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas Pilkada dan menolak revisi Undang-Undang Pilkada oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Selain itu mereka juga menolak dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi). (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 
Pilkada: Manusia Lawan Kotak Kosong? Malu Dong!

Oleh: Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia

Katanya Indonesia negara demokrasi. Katanya akan menjadi negara emas. Katanya demokrasi kemanusiaan yang beradab. Faktanya, apa yang sedang terjadi di politik Pilkada kita? Memalukan.

Belakangan ini, setiap hari orang membicarakan tentang Pilkada serentak. Semua partai saling mencari teman untuk membentuk kelompok politik mengusung dan mendukung pasangan calon Pilkada, sebagai strategi politik pragmatis.

Karena itu, yang elit partai lakukan tersebut bukan berkoalisi. Sebab, koalisi berbasis ideologi dan relatif parmanen, mska lebih tepat disebut sebagai kerja sama politik transaksional.

Perilaku politik elit partai tersebut membuat kita teringat dengan permainan ketika masa usia anak-anak. Pemandu mengatakan "ayo kita semua sama-sama cari teman sebanyak-banyaknya dan bentuk kelompok ya".

Lalu, setiap peserta berlari kesana-kemari mencari teman dengan saling berpegangan yang akhirnya menyisakan satu orang. Orang yang satu ini diberi semacam "hukuman", tergantung pemandu acara, apa hukumannya.

Permainan anak-anak ini, tampaknya mirip seperti pembentukan kelompok sejumlah partai politik untuk mengusung dan mendukung paslon di suatu daerah Pilkada tertentu, sehingga membuat partai tertentu tidak cukup kursi DPRD membawa Paslon Pilkada.

Berita Rekomendasi

Inilah politik akal-akalan yang sama sekali tidak sejalan dengan nilai Pancasila.

Mau bukti? Sudah dibentuk dan diumumkan nama koalisi, sebut saja Koalisi Indonesia Maju (KIM) misalnya, dan mewacanakan nama bakal calon Pilkada yang akan mereka usung, tiba-tiba saja masih ada satu-dua partai menyatakan bergabung ke koalisi tersebut dengan menyebut KIM plus.

Seolah mereka tak berdaya membentuk kelompok partai untuk mengusung/mendukung pasangan bakal calon lain. Bisa jadi karena elit partai tersebut "tersandera" sehingga tidak percaya diri membentuk dan mengusung bakal pasangan lain.

Dengan demikian, para elit partai politik seolah membuat Pilkada sebagai main-mainan saja sebagaimana dilakukan anak-anak, yaitu berkumpul menjadi satu untuk mencalonkan sepasang kandidat pemimpin di daerah.

Sehingga, itu sengaja untuk menyisakan satu atau dua partai saja di luar kumpulan mereka yang tidak mungkin mengusung karena tidak dapat memenuhi jumlah kursi DPRD untuk nembawa mencalonkan pasangan kandidat.

Baca juga: Hamid Awaluddin Dengar Prabowo Marah Besar Sikapi Manuver Revisi UU Pilkada: Ini Beban ke Depan Dia

Otomatis satu atau dua partai seolah mendapat "hukuman", gagal mencalonkan kandidat pemimpin di suatu daerah. Ini dapat disebut sebagai pembunuhan kedaulatan rakyat. Malu dong.

Tentu, publik menjadi bertanya, apa yang ada di benak para elit utama partai yang ikut main-main politik ini? Boleh jadi mereka menganggap politik itu mainan belaka sebagaimana dilakukan oleh anak-anak.

Karena itu, sangat wajar publik mempertanyakan di mana nurani dan intelektual para elit partai yang ikut bermain-main politik ala anak-anak.

Padahal, publik berharap para elit partai memiliki kepemimpinan yang visioner, ideologis bukan prakmatis, intelektual di bidangnya dan independent.

Sejumlah mahasiswa menggelar aksi tolak Revisi UU Pilkada depan Gedung DPRA, Jumat (23/8/2024).
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi tolak Revisi UU Pilkada depan Gedung DPRA, Jumat (23/8/2024). (SerambiNews/Muhammad Nasir)

Jika betul harapan ini teruji, pertanyaan selanjutnya, mengapa mereka masih beramai-ramai berkelompok sehingga seolah-olah menciptakan calon tunggal (manusia) berhadapan dengan kotak kosong sebagai benda mati yang tidak pernah sekolah itu?

Ini dapat disebut sebagai politik aneh, alias tidak sejalan dengan kemanusiaan yang beradab.

Lalu yang menarik disimak, pasti ada pemandu permainan terbentuknya calon tinggal itu. Tidak mungkin tidak ada pemandu. Sebagai pemandu, ia pemilik kuasa dan relasi kuasa yang power full.

Melihat perilaku elit politik sebagai mana tersaji di atas, tak terbayangkan oleh publik betapa sedihnya hati para pejuang republik ini menyaksikan bahwa kontestasi politik negeri ini dianggap sebagai arena main-mainan oleh para elit partai.

Baca juga: Beredar di Media Sosial, Surat Konsultasi KPU Bahas Putusan MA Soal Batasan Usia Peserta Pilkada

Juga betapa kecewanya para konstituen melihat wakil-wakilnya di DPR sana seperti tak berkutik. Padahal mereka dipilih rakyat bukan dipilih oleh elit partai. Apa yang akan terjadi jika politik di negara ini dianggap lahan main-mainan pemilk kekuasaan.

Betapa menyedihkannya jika calon pasangan pimpinan daerah yang pendidikannya minimal SMA harus berhadapan dengan kotak kosong yang tak pernah sekolah, tak punya hati dan jiwa, tak bisa mendengar, dan tak mampu memandang lawan dan tak mampu menjawab jika dilakukan debat kandidat.

Lalu, terbayangkah perasaan pasangan calon kandidat yang akan melawan kotak kosong? Tidakkah ada rasa malu bahwa dirinya disetarakan dengan benda mati (kotak kosong)?

Kalau nanti dirinya kalah melawan benda mati, sakit dan malu.

Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/8/2024). Aksi ini kembali dilakukan dalam rangka mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas Pilkada dan menolak revisi Undang-Undang Pilkada oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Selain itu mereka juga menolak dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi). (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)
Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/8/2024). Aksi ini kembali dilakukan dalam rangka mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas Pilkada dan menolak revisi Undang-Undang Pilkada oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Selain itu mereka juga menolak dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi). (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Kalau dirinya menang, ia malu dan sakit. Setiap saat bahkan seumur hidupnya sampai ke anak-cucu dan cicit akan terwariskan sejarah menang karena melawan benda mati, apalagi kalah melawan benda mati.

Karena itu, pertanyaan kritikal, masihkah mau menjadi calon tunggal lawan benda mati? Beranikah menolak jika dijadikan calon tunggal? Seperti kata pepatah" takut karena salah, berani karena benar"

Semoga Tuhan memimpin sosok pemeran "pemandu" partai politik di negeri ini menjalankan fungsinya dengan hati yang takut akan Tuhan.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas