Momen Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Terisak Baca Dissenting Opinion di Sidang Perkara Hak Asuh Anak
Guntur mengungkapkan dirinya yang sedih sebab mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim konstitusi Guntur Hamzah sempat terisak saat membaca dissenting opinion atau menyampaikan pendapat berbeda dalam sidang hak asuh anak di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (26/9/2024).
Adapun sidang dengan perkara 140/PUU-XXI/2023 ini ditolak seluruhnya oleh hakim konstitusi.
Baca juga: Tokoh dan Ulama Banten Ajak Masyarakat Jaga Konstitusi dan Mitigasi Gangguan Ketenteraman di Pilkada
"Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang terpaksa harus berpisah dengan buah hatinya yang masih di bawah umur," ujar Guntur saat membaca dissenting opinon.
"Karena rebutan hak mengasuh anak yang berujung pada pengambilan paksa seorang anak dan ibu kandungnya," tambah Guntur.
Lebih lanjut, Guntur juga mengungkapkan ihwal dirinya yang sedih sebab mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum.
Padahal dalam beberapa perkara lainnya, mahkamah tampak melangkah maju mengambil sikap.
"Bahkan dalam banyak hal terlihat progresif menunjukkan sikap konstruktifnya," tuturnya.
"Meskipun demikian, saya menaruh harapan agar kiranya mahkamah dalam putusan a quo berkenan me-deliver semangat keberpihakan kepada para ibu kandung untuk mengasuh anaknya yang masih di bawah umur," ia menambahkan.
Sebagai informasi MK menolak seluruhnya pengujian materiil Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945.
Baca juga: Dissenting Opinion Hakim Guntur Hamzah: Saya Tak Ragu Tolak Putusan Syarat Pengusungan Pilkada
Permohonan ini diajukan oleh Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.
Para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai memiliki hak asuh anak.
Namun saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.
Sehingga menurut pemohon dengan tidak adanya tafsir yang jelas dan tegas mengenai ketentuan frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” apakah dapat diterapkan terhadap ayah atau ibu kandung sebagai subjek hukum sebagaimana tersebut di atas, dalam praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan hukum yang mengakibatkan adanya perlakukan yang berbeda-beda.