Tiga Guru Besar Hukum Sikapi Status Hukum Mardani H Maming Saat Ini
Secara umum tiga guru besar hukum itu berpendapat harusnya Mardani H Maming dibebaskan demi hukum dan keadilan.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tiga guru besar hukum menyampaikan pandangannya soal status hukum Mardani H Maming.
Ketiganya menyampaikan pandangannya setelah melakukan telaah sistematis, Minggu (20/10/2026).
Baca juga: Presiden dan Politik Hukum: Peta Jalan dan Kebijakan Hukum Periode 2024-2029
Mereka adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Prof Dr Topo Santoso, kemudian mantan Rektor Universitas Diponegoro Prof. Dr. Yos Johan Utama, serta Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita.
Secara umum tiga guru besar hukum itu berpendapat harusnya Mardani H Maming dibebaskan demi hukum dan keadilan.
Sekadar diketahui, Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, telah memvonis Mardani H. Maming dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta dalam kasus izin pertambangan.
Baca juga: Reaksi KPK Ada Akademisi Minta Terpidana Korupsi Mardani Maming Dibebaskan
Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.
Prof. Dr, Topo Santoso, meminta agar pengusaha Mardani H Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim.
Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani H Maming.
“Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,” katanya.
Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka.
Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
“Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.
Pekan lalu, dalam acara diskusi buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” yang diadakan di Yogyakarta, beberapa pakar menguatkan pendapat itu.
Baca juga: Soal PK Mardani Maming, Pakar Hukum: MA Harus Jadi Lokomotif Semangat Baru Pemberantasan Korupsi
Senada dengan itu, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, juga menyampaikan desakan yang sama.
Profesor yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro periode 2019-2024, juga menyoroti kekhilafan dalam putusan pemidanaan tersebut.
Ia menyatakan bahwa keputusan Mardani H. Maming selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.
“Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana. Selain itu, Pasal 93 ayat 1 UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba mengatur larangan kepada pemegang IUP sebagai pihak swasta, bukan kepada Bupati, sehingga Mardani H. Maming tidak dapat dipersalahkan," jelas Prof. Yos.
Pendapat yang sama juga dilontarkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM. Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK, menyampaikan bahwa terdapat delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Mardani H. Maming.
Ia menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.
"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas Prof. Romli.
Ketiganya sepakat, dengan melihat konstruksi argumentasi, serta fakta-fakta persidangan, Mardani H Maming harus dibebaskan demi keadilan.