Todung Mulya Lubis Buka Peluang Kirim Amicus Curiae ke MA Terkait Kasus Eks Bupati Tanah Bumbu
Kata dia, hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis senior hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis menyatakan ingin menyiapkan sebuah amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Agung (MA) terkait penanganan perkara korupsi mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.
Sebab, pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) itu melihat adanya miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan kasus tersebut.
"Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali (PK) bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya," kata Todung dalam keterangannya, Jumat (25/10/2024).
"Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan,” imbuhnya.
Di sisi lain, menurut Todung, penjatuhan pidana terhadap Mardani Maming merupakan hal yang dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai.
Ia menyebut, bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial.
Kata dia, hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan.
Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu), karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya.
"Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti,” kata Todung.
Baca juga: Tersebar, Uang Disita dari Penangkapan 3 Hakim dan Pengacara Ronald Tannur Tembus Rp20 Miliar
Todung juga menjelaskan, hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah,” sebutnya.
Todung melanjutkan, dengan menyatakan keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi.
Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas—yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana.
“Korupsi memang masalah serius bagi bangsa ini. Namun tidak berarti penanganannya bisa dilakukan secara serampangan. Ketika ada miscarriage of justice dalam penanganan perkara—termasuk perkara korupsi—maka seharusnya terdakwa dinyatakan bebas," kata dia.