Maqdir Ismail: Pemberantasan Korupsi Harus Dimulai dari Mencegah Praktik Suap
Ia meyakini memberantas korupsi dengan baik, harus mulai dari mencegah adanya suap-menyuap. Atau memperkarakan semua orang yang terima suap.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat hukum senior Maqdir Ismail mengatakan, memberantas korupsi yang baik dimulai dari mencegah adanya praktik suap-menyuap.
Atau memperkarakan semua orang yang menerima suap.
Baca juga: Pimpinan Baleg DPR: Untuk Pemberantasan Korupsi, Tanpa UU Perampasan Aset Rasanya Sudah Cukup
“Kita harapkan bahwa agar semua perkara-perkara, terkait dengan korupsi khususnya pasal 2 ayat 1 dan pasal 3. Perlombaan membesarkan-besarkan kerugian negara itu harus dihentikan,” kata Maqdir kepada awak media di Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Menurutnya kalau kerugian itu tidak bisa dibuktikan, untuk apa dan apa gunanya membesarkan kerugian yang luar biasa. Apalagi sampai ratusan triliun.
Baca juga: KPK Buka Penyidikan Kasus Korupsi Komputer dan Laptop di PT INTI, Kerugian Negara Rp 100 Miliar
Ia meyakini memberantas korupsi dengan baik, harus mulai dari mencegah adanya suap-menyuap.
“Karena praktik terima suap ini mulai dari pegawai kecil sampai pegawai tertinggi. Kalau merugikan keuangan negara itu, hanya pada proyek-proyek tertentu. Makanya itu yang saya katakan tadi, kerusakan akibat korupsi ini hanya kerusakan ekonomi. Tetapi kerusakan akibat suap itu merusak gaya hidup dan cara hidup orang, merusak pikiran orang,” terangnya.
Kemudian diungkapkan Maqdir pihaknya saat ini tengah melakukan judicial review Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi (MK).
Maqdir mengatakan hal itu dilakukan karena pasal tersebut merupakan pasal karet.
"Hari ini yang kita bicara dan diskusikan itu adalah mengenai upaya mencoba pembatasan penggunaan Pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 terkait dengan korupsi. Karena pasal ini pasal sangat karet, semua orang bisa kena dengan pasal ini. Makanya kami sedang menguji kedua pasal ini di MK," jelasnya.
Alasan pokoknya kata Maqdir pihaknya minta dibatalkan kedua pasal tersebut karena bukan hanya tidak ada gunanya. Tetapi ini bisa menjerat orang tidak bersalah menjadi salah, menghukum orang karena jabatan bukan karena kejahatan.
"Tapi kalau misalnya Mahkamah Konstitusi tidak setuju dengan ini, maka kami sampaikan alternatifnya adalah supaya ada syarat," lanjutnya.
Baca juga: Korupsi Timah, Harvey Moeis Sebut Dana CSR Ratusan Miliar Disimpan di Brankas dan Ludes Saat Pandemi
Orang boleh dikenakan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3, kata Maqdir. Kalau syaratnya itu dia terima suap atau dia katakanlah terima gratifikasi menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi.
"Kemudian satu lagi saya kira yang penting, misalnya ada kekhawatiran bahwa kalau tidak ada pasal, kerugian keuangan negara itu tidak bisa dituntut, Itu tidak benar, bisa dituntut," terangnya.
Ia menerangkan bisa digunakan Undang-Undang Perseroan Terbatas kalau misalnya memang ada kerugian itu. Karena dalam putusan MK kerugian itu harus nyata dan pasti.
"Yang terjadi sekarang adalah kerugian itu tidak nyata dan tidak pasti, sehingga orang bisa dihukum. Terus terang ini semua yang membuat kerisauan," tegasnya.