Pakta Konsumen Nasional: Konsumen Produk Tembakau Butuh Keadilan dalam Regulasi
Rembuk Konsumen ini menjadi upaya PakNas untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap konsumen tembakau, sekaligus memastikan keadilan peraturan.
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM – Gelombang kebijakan yang dinilai diskriminatif terhadap konsumen produk tembakau menjadi sorotan dalam Rembuk Konsumen yang digelar Pakta Konsumen Nasional (PakNas) di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (21/11/2024).
Diskusi bertajuk "Pemerintahan Baru: Melihat Kebijakan pada Ekosistem Pertembakauan dan Dampaknya pada Konsumen" itu menghadirkan berbagai komunitas dan lembaga untuk membahas isu regulasi yang dinilai merugikan hak-hak konsumen.
Ketua Umum PakNas, Ary Fatanen, menegaskan pentingnya pelibatan konsumen dalam setiap tahap penyusunan regulasi terkait pertembakauan.
"Konsumen produk tembakau, yang taat membayar pajak dan cukai, selama ini hanya diposisikan sebagai objek hukum, bukan subjek yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan."
"Padahal, kami berhak mendapatkan transparansi dan perlakuan yang adil dalam setiap aturan yang menyasar kami," ujarnya, melalui keterangan kepada Tribunnews, Jumat (22/11).
Ary menyoroti berbagai aturan yang dianggap meminggirkan konsumen, mulai dari pasal-pasal dalam PP No. 28 Tahun 2024 hingga Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) tentang Tembakau dan Rokok Elektronik.
Aturan-aturan ini dinilai diskriminatif, seperti batas usia pembelian rokok yang dinaikkan dari 18+ menjadi 21+, larangan penjualan eceran, hingga pelarangan iklan di media sosial.
"Kebijakan ini tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga berdampak buruk pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat," tambah Ary.
Baca juga: Rancangan Permenkes Resahkan Petani Tembakau di Jateng: Tembakau Sumber Kehidupan Tidak Tergantikan
Ia juga menyoroti penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dinilai terlalu ketat di beberapa daerah seperti Yogyakarta, Sleman, dan Kulon Progo.
"Raperda KTR sering tidak mengakomodasi masukan konsumen, termasuk kewajiban menyediakan Tempat Khusus Merokok (TKM). Ini jelas merugikan hak konsumen," tegas Ary.
Regulasi yang Kurang Tepat Sasaran
Anggota DPRD DIY, Yuni Satya Rahayu, mengingatkan pentingnya pendekatan yang seimbang dalam implementasi kebijakan.
"Pemerintah harus mempertimbangkan dua sisi, baik perokok maupun non-perokok, dengan memastikan ketersediaan TKM yang layak. Rokok adalah produk legal, jadi pemerintah juga harus bertanggung jawab atas dampaknya terhadap konsumen," katanya.
Senada dengan itu, anggota Komisi VI DPR RI, GM Totok Hedi Santoso, menyebutkan bahwa regulasi yang tidak sesuai kondisi lapangan akan kontraproduktif.
"Regulasi seperti pelarangan identitas merek dan logo pada kemasan rokok dalam R-Permenkes malah bisa mendorong tumbuhnya pasar rokok ilegal yang merugikan negara dan konsumen," jelas Totok.
Awan Santosa, peneliti dari Mubyarto Institute, menekankan pentingnya evaluasi kebijakan yang lebih presisi.
"Ekosistem pertembakauan adalah bagian dari ekonomi gotong royong yang melibatkan jutaan petani, pekerja, dan pelaku UMKM. Kebijakan yang terlalu ketat bisa menghancurkan tatanan ini, meningkatkan angka rokok ilegal, dan menciptakan dampak sosial yang serius," ungkap Awan.
Baca juga: Ngadu Lewat Lapor Mas Wapres, Petani Tembakau Minta Perlindungan dari Tekanan Rancangan Permenkes
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan yang tidak matang justru akan gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
"Dampaknya sangat berat, mulai dari kriminalisasi konsumen hingga tekanan ekonomi yang luar biasa. Regulasi harus benar-benar dievaluasi agar lebih adil dan berimbang," pungkasnya.
PakNas bersama berbagai komunitas konsumen terus mendorong pemerintah untuk menciptakan regulasi yang lebih adil dan inklusif.
Dengan melibatkan konsumen sebagai bagian dari proses penyusunan aturan, diharapkan kebijakan yang lahir tidak hanya melindungi kepentingan kesehatan masyarakat, tetapi juga memperhatikan hak-hak konsumen sebagai warga negara yang taat aturan dan kontribusi ekonominya. (*)