Setujui Transfer Narapidana Kasus Bali Nine, Prabowo Minta Jajarannya Segera Buat Kajian Mekanisme
Pemerintah negara sahabat yang memiliki terpidana di Indonesia, harus secara resmi dan tertulis mengajukan pemohonan kepada pemerintah Indonesia
Penulis: Reza Deni
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto menyetujui soal transfer narapidana dalam kasus lima terpidana narkoba Bali Nine, ke negara asalnya, Australia.
Namun Prabowo juga memerintahkan kepada jajaran menteri terkait untuk melakukan kajian soal mekanisme transfer tahanan tersebut.
Awalnya, Supratman menjelaskan Indonesia saat ini belum memiliki aturan soal mekanisme transfer terpidana ke negara asalnya.
"Bahwa mekanisme transfer secara umum kita belum punya rules-nya. Makanya Presiden menegaskan kepada Pak Menko Hukum, kepada Menteri Hukum, untuk melakukan kajian," kata Supratman di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).
Supratman menyebut kajian tersebut sudah masuk tahap finalisasi.
Baca juga: BNN: Pantai Timur Sumatera hingga Perbatasan Kalimantan Wilayah Rawan Penyelundupan Narkoba
"Kami akan melakukan itu dalam waktu, mungkin apakah Desember bisa atau awal tahun, saya belum bisa pastikan. Tapi pada prinsipnya Presiden setuju dan kami mempersiapkan itu," kata dia.
Soal apakah kajian tersebut nanti dibuat payung hukum dalam bentuk UU, Supratman mengatakan opsi itu masih ada.
"Rencananya begitu. Tetapi yang ini kan kita sudah punya preseden. Dulu ada kasus Corby yang dulu kita transfer juga," kata Supratman.
Lebih lanjut, Supratman mengingatkan kepada pemerintah negara sahabat yang memiliki terpidana di Indonesia, harus secara resmi dan tertulis mengajukan pemohonan kepada pemerintah Indonesia jika hendak melakukan transfer tahanan.
"Syaratnya yang kami sampaikan, sekali lagi, bahwa mereka harus mengakui, menyangkut soal sistem hukum kita dan proses peradilan yang sudah berlangsung," pungkas Supratman.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyatakan, pemerintah Indonesia telah menerima permohonan resmi dari pemerintah Filipina terkait pemindahan terpidana mati kasus penyelundupan narkotika Mary Jane Veloso.
Proses pemindahan dapat dilakukan jika syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah Indonesia dipenuhi.
Menko Yusril juga menegaskan, pemerintah Indonesia tidak membebaskan terpidana mati Mary Jane, tetapi mengembalikannya ke negara asal melalui kebijakan pemindahan narapidana atau transfer of prisoner.
Menanggapi pernyataan Presiden Filipina Ferdinand R. Marcos Jr., Menko Yusril menyatakan, tidak ada kata "bebas" dalam rilis itu.
"Tidak ada kata bebas dalam statemen Presiden Marcos itu. ‘Bring her back to the Philippines', artinya membawa dia kembali ke Filipina," kata Yusril melalui keterangan pers tertulis kepada media, di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Menko Yusril menyebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang mengajukan permohonan pemindahan narapidana atau transfer of prisoner.
Pertama, mengakui dan menghormati putusan final pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya yang terbukti melakukan tindak pidana di wilayah negara Indonesia.
Kedua, napi tersebut dikembalikan ke negara asal untuk menjalani sisa hukuman di sana sesuai putusan pengadilan Indonesia.
Baca juga: Modus Baru Pengiriman Narkoba Lewat Ekspedisi, BPOM: Pentingnya Kerja Sama Lintas Instansi
Ketiga, biaya pemindahan dan pengamanan selama perjalanan menjadi tanggungan negara yang bersangkutan.
"Bahwa setelah kembali ke negaranya dan menjalani hukuman di sana, kewenangan pembinaan terhadap napi tersebut beralih menjadi kewenangan negaranya," kata Yusril.
Terkait pemberian keringanan hukuman berupa remisi, grasi dan sejenisnya, Menko Yusril mengatakan, hal itu menjadi kewenangan kepala negara yang bersangkutan.
"Dalam kasus Mary Jane, yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia, mungkin saja Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur hidup, mengingat pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana Filipina, maka langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari Presiden Filipina," kata Yusril.
Menko Yusril menambahkan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa tahun yang lalu telah menolak permohonan grasi Mary Jane, baik yang diajukan oleh pribadi, maupun diajukan oleh pemerintah Filipina.
"Presiden kita sejak lama konsisten untuk tidak memberikan grasi kepada napi kasus narkotika," ujar Yusril.