Rangkap Jabatan Prabowo Sebagai Presiden dan Ketua Umum Partai Politik Rentan Langgar Aturan Pemilu
Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin, menyoroti potensi penyalahgunaan sumber daya negara oleh pejabat dalam mendukung pasangan calon tertentu.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, menyoroti potensi penyalahgunaan sumber daya negara oleh pejabat dalam mendukung pasangan calon tertentu di Pilkada 2024.
Usep mengatakan fenomena ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Pemilu sebelumnya.
"Yang dilakukan oleh Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ini kan bisa dibilang mirip sama yang dilakukan Presiden Jokowi di konteks Pemilu 2024, bagaimana me-endorse satu pasangan calon untuk dipilih," ujar Usep di Media Center Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Usep menyayangkan upaya penindakan terhadap dugaan penyalahgunaan tersebut seringkali terhenti pada tafsir hukum yang dianggap lemah.
"Kemarin itu, Bawaslu itu punya tafsir yang membatasi di tahapan dan waktu-waktu tertentu, misal kaitannya sama hari libur. Yang kami sayangkan adalah kenapa perihal yang mendasar seperti ini berhenti sama keadaan hukum yang apa adanya," katanya.
Baca juga: Sekjen Gerindra Sebut Surat Dukungan Prabowo ke RK-Suswono Tak Dalam Kapasitasnya Sebagai Presiden
Menurut Usep, ketika pejabat politik menggunakan jabatan atau sumber daya negara untuk mendukung pasangan calon, hal tersebut seharusnya dianggap sebagai bagian dari pelanggaran terstruktur, sistematik, dan masif (TSM).
Ia juga menekankan pembuktian pelanggaran tersebut perlu dilanjutkan hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Misalnya, kasusnya Prabowo itu berhenti sama penegakan hukum, dalam hal ini Sentra Gakkumdu, karena hukumnya enggak bunyi,” ucapnya.
“Harusnya itu dijadikan oleh pihak yang berkeberatan sebagai bagian dari apa yang dimaksud terstruktur dan sistematis dalam persidangan persengketaan Pilkada di MK," lanjut dia.
Baca juga: Presiden Prabowo akan Nyoblos Pilkada di Hambalang
Selain itu, Usep menyoroti tantangan dalam sistem presidensial Indonesia, di mana presiden memiliki kewenangan besar namun masih bisa merangkap jabatan sebagai ketua partai politik.
"Harusnya hukum itu tidak membolehkan rangkap jabatan antara presiden terpilih sebagai kepala eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat dengan ketua umum partai politik," tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya politik kenegarawanan dalam mengatur perilaku pejabat negara selama Pemilu.
Jika hukum belum memisahkan jabatan tersebut, maka masyarakat sipil perlu mendorong penyalahgunaan ini diakui sebagai pelanggaran sistematik dan struktural.