Putusan MK: KPK Berwenang Tangani Perkara Korupsi Militer Sampai Selesai, Tapi Ada Syaratnya
MK mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil norma Pasal 42 Undang-undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK), menegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menangani kasus korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Hal itu disampaikan Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan untuk perkara nomor 87/PUU-XXI/2023, yang dimohonkan oleh Pemohon, Gugum Ridho Putra.
MK mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil norma Pasal 42 Undang-undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Suhartoyo, dalam sidang putusan di gedung MK, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
MK juga menyatakan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137.
Ini merupakan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak
awal atau dimulai/ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi".
Adapun melalui putusan ini, Mahkamah memberikan syarat kepada KPK, bahwa kasus korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, baru boleh ditangani KPK apabila sejak awal proses hukumnya dimulai oleh lembaga antirasua itu.
Kemudian, Suhartoyo memastikan, KPK tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan perkara tindak pidana korupsi tersebut kepada Oditurat dan peradilan militer.
"Sebaliknya, perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada peradilan militer yang ditemukan dan dimulai penanganannya oleh lembaga penegak hukum selain KPK maka tidak ada kewajiban bagi lembaga hukum lain tersebut untuk melimpahkannya kepada KPK."
Menjelaskan lebih lanjut pertimbangan hukum Mahkamah, hakim konstitusi Arsul Sani mengatakan, sekalipun KPK merupakan lembaga yang lahir pada era setelah reformasi dibandingkan dengan kepolisian, kejaksaan, dan TNI yang merupakan instansi/lembaga yang telah jauh lebih dulu dibentuk sebelum adanya KPK.
Namun dalam hal ini ketentuan Pasal 42 UU 30/2002 telah mengatur dan menempatkan KPK menjadi instansi yang diberi kewenangan untuk menjalankan koordinasi dan pengendalian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Menurutnya, hal ini sebagai salah satu perwujudan KPK adalah lembaga yang diberi kewenangan khusus dan berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.