Yusril Ungkap Sudah Siapkan 3 UU Baru, Salah Satunya UU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan rencananya untuk membentuk tiga undang-undang (UU) pada tahun 2025 mendatang.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan rencananya untuk membentuk tiga undang-undang (UU) pada tahun 2025 mendatang.
Tiga UU tersebut, kata Yusril, perlu dibentuk agar KUHP Baru atau KUHP Nasional dapat dilaksanakan pada 2026.
Yusril mengatakan draf dari tiga UU baru tersebut juga telah disiapkan dan telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Ketiga UU itu, juga akan dibahas segera.
Baca juga: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.
UU pertama adalah tentang syarat dan tata cara permohonan grasi.
UU itu, lanjut Yusril, perlu dibentuk untuk melaksanakan pasal 62 ayat 2 KUHP Baru.
Ia menjelaskan UU grasi sebenarnya sudah ada.
Hal itu disampaikannya saat Focus Group Discussion dengan media di kantor Kemenko Kumham Imipas di Kuningan Jakarta pada Kamis (28/11/2024).
"Zaman saya dulu kita bikin UU grasi. Tapi bagaimana syarat-syarat tata cara permohonan grasi itu, itu memang diperlukan, mungkin revisi terhadap UU grasi sekarang barangkali ya. Nggak perlu bikin yang baru," kata Yusril.
UU kedua, lanjut Yusril, adalah UU tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.
UU itu perlu dibentuk untuk melaksanakan ketentuan pasal 102 dalam KUHP Baru.
"Selama ini hanya dengan Keputusan Presiden. Itu pun dibuat pada zaman Bung Karno tentang tata cara melaksanakan eksekusi itu. Ini harus diatur dengan UU. Dan nggak terlalu panjang sih UU-nya untuk melaksanakan ini," ungkap Yusril.
Baca juga: Gapensi Bersama Asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi Minta DPR Tak Buru-buru Revisi UU Nomor 2/2017
Ketiga adalah UU tentang penyesuaian ketentuan pidana.
Ia menjelaskan UU tersebut termasuk juga ketentuan pidana terkait dengan hukum yang hidup.
"Itu juga diperlukan satu UU," ungkapnya.
Selain itu, kata Yusril, diperlukan juga banyak Peraturan Pemerintah (PP) agar KUHP Baru dapat dilaksanakan pada tahun 2026.
PP tersebut di antaranya terkait dengan tentang tata cara penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu, ucap Yusril, PP tentang tata cara mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi penjara 20 tahun.
"Jadi semua, peraturan perundang-undangan ini baik tingkat UU maupum tingkat PP-nya. Ini harus diselesaikan pada tahun 2025 yang akan datang. Sehingga Januari 2026 ketika KUHP itu harus sudah dilaksanakan, semua peraturan-peraturan pendukungnya itu sudah selesai kita buat," tegas Yusril.
Dia juga menjelaskan pembentukan UU dan PP sehingga KUHP Baru pada 2026 itu bisa dilaksanakan menjadi mendesak karena sejumlah hal di antaranya terkait dengan nasionalisme sebagai sebuah bangsa.
Ia mengatakan sudah lebih 70 tahun Bangsa Indonesia merdeka, namun masih menggunakan KUHP warisan Hindia Belanda yang di negeri Belanda sendiri sudah tidak digunakan.
"Pada waktu saya Menteri Kehakiman dan HAM di sini juga dulu menggenjot supaya ini selesai. Dan drafnya selesai pada waktu itu. Kami kirim ke semua lembaga-lembaga pendidikan, fakultas hukum, bahkan pondok pesantren dikirimin semua untuk memberikan masukan dan komentar terhadap draf final KUHP nasional," ungkapnya.
"Dan baru pada zaman Pak Jokowi diajukan ke DPR. Alhamdulillah sudah selesai. Dan kita akan menggunakan KUHP baru," lanjut dia.
Menurutnya, apa yang telah dilakukan tersebut bukan sekadar mengganti KUHP Belanda dengan KUHP Baru, melainkan terjadi perubahan yang cukup radikal dalam filosofi dan teori hukum yang digunakan di Indonesia dalam melihat persoalan-persoalan pemidanaan.
Selain itu, juga terjadi perubahan radikal dalam perumusan pemidanaan dan jenis-jenis sistem penghukumannya.
"Barangkali dengan KUHP baru itu, jumlah narapidana tidak akan sebesar sekarang lagi karena memang penekanannya tidak lagi pada penghukuman badan," ungkapnya.
"Lebih kepada restorative justice dan juga pengenaan hukum denda dan hukum kurungan daripada hukuman penjara yang memang kita warisi dari pemerintah penjajahan di masa yang lalu," lanjutnya.