Sidang Kasus Timah, Saksi Ahli Jelaskan Ketidaktepatan Penggunaan UU Tipikor
Ahli hukum Pidana UI Prof Eva Achjani Zulfa mengatakan Undang - Undang Tipikor tidak sesuai jika digunakan dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Prof Eva Achjani Zulfa mengatakan Undang - Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak sesuai jika digunakan dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah.
Menurutnya, salah satu dasar hukum pidana adalah asas pertanggungjawaban individu, di mana setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan kasus korupsi tata niaga timah, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/12/2024).
"Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat," kata Prof Eva.
Sementara soal konteks penyertaan dalam hukum pidana, Prof Eva menerangkan ada beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh atau turut serta.
Jika menggunakan UU Pidana maka ketika seseorang tidak mengetahui dijadikan alat atau diperalat pihak lain untuk tujuan kejahatan, tanggung jawab pidana tidak bisa dikenakan kepada yang bersangkutan.
Ia kemudian mencontohkan jika ada seseorang yang tidak tahu sedang diperdaya oleh pihak tertentu untuk membuka pintu rumah orang lain dengan tujuan mencuri, maka orang yang diperdaya itu tidak bisa dianggap sebagai peserta delik.
“Seseorang yang tidak tahu bahwa ia diperdaya untuk membuka rumah (orang untuk mencuri), misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik,” terang Prof Eva.
Baca juga: Harvey Moies Bakal Jalani Sidang Tuntutan Kasus Korupsi Timah Senin 9 Desember 2024
Dalam konteks kasus PT Timah, Prof Eva menyoroti penerapan Pasal 14 UU Tipikor. Menurutnya kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN atau BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, bukan merupakan kerugian negara.
“Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam Undang-undang,” terang dia.
Sementara itu, saksi ahli lainnya dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi menyatakan UU Tipikor bukan aturan ‘sapu jagat’ untuk semua kasus dengan potensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilegal bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal Tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” kata Mahmud.
Baca juga: Curhat Helena Lim, Gagal Buka Toko Barang Mewah karena Tersangkut Kasus Korupsi Timah
Ia juga menjelaskan bahwa UU Tipikor sebagai aturan khusus atau lex spesialis, tidak dapat serta-merta diterapkan pada berbagai kasus.
Penerapannya hanya berlaku jika tidak ada undang-undang lain yang secara spesifik mengatur perbuatan tertentu. Jika terdapat UU khusus yang relevan, maka UU tersebut harus didahulukan.
“Jika ada dua UU khusus yang saling bertemu, maka kita harus melihat domain perbuatannya terlebih dahulu. Misalnya, jika UU Tipikor berbenturan dengan UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Perpajakan, atau UU Minerba, belum tentu UU Tipikor yang digunakan,” ujarnya.