Jutek Bongso: Keputusan MA Aneh dalam Kasus Vina Cirebon
Jutek Bongso menyatakan keputusan hakim MA aneh dan mempertanyakan bukti yang ditolak.
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.com - Kuasa hukum terpidana kasus Vina Cirebon, Jutek Bongso, mengungkapkan kekecewaannya setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) kliennya.
Jutek menilai keputusan hakim MA aneh, terutama terkait dengan alasan penolakan yang menyebutkan tidak adanya bukti baru atau novum.
“Bukti ekstraksi ponsel Widi, yang menunjukkan percakapan antara Widi dan Vina pada waktu kejadian, seharusnya bisa dianggap sebagai novum,” kata Jutek dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Bukti yang Dihadirkan
Jutek menjelaskan bahwa pihaknya telah menyajikan banyak fakta yang sebelumnya tidak terungkap, termasuk hasil ekstraksi ponsel Widi.
Dia mempertanyakan keputusan hakim yang menolak bukti tersebut sebagai novum.
“Apakah ini bukan novum? Ini yang patut kita tanyakan,” tegasnya.
Selain itu, Jutek juga menyoroti pernyataan saksi yang menyebutkan bahwa Vina dan Eky tidak tewas akibat pembunuhan, melainkan karena kecelakaan.
Dia menilai tuduhan pembunuhan berencana terhadap terpidana tidak didukung oleh satu pun saksi yang relevan.
Penolakan Pengajuan Grasi
Setelah penolakan PK, Jutek menawarkan kliennya untuk mengajukan grasi.
Namun, para terpidana menolak opsi tersebut.
Menurut Jutek, mereka enggan mengaku sebagai pelaku pembunuhan Vina dan Eky karena merasa tidak bersalah.
“Saya sudah bertanya dua kali kepada mereka di dalam Lapas, dan mereka lebih memilih meninggal di penjara daripada mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan,” ungkap Jutek.
Syarat Pengajuan Grasi
Diketahui, salah satu syarat untuk mengajukan grasi adalah terpidana harus mengakui perbuatannya.
Jutek menegaskan bahwa kliennya tidak bersedia memenuhi syarat tersebut.
“Mereka lebih baik mendekam di penjara sampai mati daripada harus mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan,” tambahnya.
Pertimbangan MA dalam Menolak PK
Juru Bicara MA, Yanto, menjelaskan dua alasan utama penolakan PK.
Pertama, bukti baru yang diajukan tidak memenuhi syarat sebagai novum sesuai Pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP.
Kedua, tidak terdapat kekhilafan dari Majelis Hakim yang mengadili terpidana.
“Dengan ditolaknya PK, maka putusan sebelumnya tetap berlaku,” ujar Yanto.
Tujuh terpidana kasus Vina Cirebon, yaitu Jaya Supriyanto, Eka Sandi, Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Sudirman, dan Rivaldi Aditya Warda, sebelumnya telah divonis seumur hidup.
MA juga menolak PK yang diajukan Saka Tatal, yang telah menyelesaikan masa hukuman delapan tahun penjara dalam kasus yang sama.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.