Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kubu Harvey Moeis Cs Kritik Angka Kerugian Lingkungan Rp 271 Triliun yang Dihitung Ahli dari JPU

Kubu terdakwa Harvey Moeis cs mengkritisi angka kerugian lingkungan Rp 271 triliun yang dihitung ahli dari jaksa peuntut umum.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Kubu Harvey Moeis Cs Kritik Angka Kerugian Lingkungan Rp 271 Triliun yang Dihitung Ahli dari JPU
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Kubu terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis cs mengkritisi angka kerugian lingkungan Rp 271 triliun yang dihitung ahli dari jaksa penuntut umum.  Pasalnya ahli yang menghitung adalah ahli bidang kehutanan.  TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis cs mengkritisi angka kerugian lingkungan Rp 271 triliun yang dihitung ahli dari jaksa penuntut umum. 

Pasalnya ahli yang menghitung adalah ahli bidang kehutanan. 

Baca juga: Suparta Menyesal Kerjasama dengan PT Timah: Sial Sekali Hidup Saya, Bantu Negara Malah Masuk Penjara

Padahal menurut penasihat hukum para terdakwa, Junaedi Saibih, penghitungan kerusakan lingkungan semestinya dilakukan oleh ahli geologi. 

"Interpretasi citra satelit atas bukaan tambang seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan," kata Junaedi dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).

Ia mempertanyakan akurasi angka atas penghitungan dari ahli di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo. 

Sebab dalam hitungannya, ia menyatakan total bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare. 

Berita Rekomendasi

Menurut Junaedi, data justru menunjukkan mayoritas area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah telah terjadi sebelum Januari 2015. 

Pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare atau 10,86 persen dari total area.

Baca juga: Pembelaan Mantan Dirut PT Timah dalam Sidang: Mau Benahi Perusahaan Malah Dituntut 12 Tahun Penjara

"Ini membantah tuduhan jaksa bahwa kegiatan tambang masif terjadi pada 2015-2022," jelasnya.    

Junaedi pun menyinggung metode penghitungan kerugian lingkungan tidak relevan. 

Menurutnya ada kecenderungan campur aduk keilmuan, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.  

Ia mengatakan, penghitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang.

"Menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik yang mengabaikan prinsip keilmuan," ujar Junaedi. 

Menurutnya jika aspek keilmuan diabaikan, maka ia mempertanyakan apakah yang berproses saat ini benar-benar penegakan hukum atau ada ambisi tertentu di belakangnya. 

"Jika aspek keilmuan diabaikan, proses hukum bisa terkesan hanya mengejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun," katanya.  

Ia pun berharap majelis hakim dapat berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil keputusan, mengingat adanya perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan dalam proses persidangan.

"Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak yang kompeten di bidangnya," pungkasnya.  

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas