Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Vonis Ringan Koruptor Jadi Sorotan Presiden, Pakar Hukum Nilai Perlu Ada Pemeriksaan Hakim

Abdul Fickar Hadjar menyoroti perhatian Presiden Prabowo terkait vonis ringan yang dijatuhkan kepada para koruptor.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Vonis Ringan Koruptor Jadi Sorotan Presiden, Pakar Hukum Nilai Perlu Ada Pemeriksaan Hakim
tribunnews.com
Majelis Hakim dan Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah Rp 300 Triliun. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti perhatian Presiden Prabowo terkait vonis ringan yang dijatuhkan kepada para koruptor.

Dalam pernyataannya, Fickar tidak menilai hal ini bukan saja mencerminkan kekecewaan Presiden, tetapi juga menimbulkan dampak besar dari keputusan hukum terhadap kepercayaan publik.

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengekspresikan kekecewaannya terhadap vonis yang dianggap terlalu ringan bagi para pelaku korupsi, yang telah merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.

Fickar menjelaskan, "Saya rasa wajar jika Presiden kecewa dan ini harus disampaikan kepada Mahkamah Agung sebagai pembina langsungnya." Pernyataan ini menunjukkan bahwa harapan masyarakat, khususnya pemerintah, terhadap lembaga peradilan sangat tinggi.

Fickar menambahkan, perhatian yang diberikan oleh Prabowo terhadap kesejahteraan profesi hakim, melalui peningkatan gaji pokok dan tunjangan, menciptakan ekspektasi yang tinggi terhadap integritas dan keadilan dalam putusan hukum.

"Sebagai kepala negara, Pak Prabowo mungkin memiliki harapan tinggi terhadap para hakim, sementara para hakim justru bermain-main dengan kewenangannya," ujarnya dengan nada khawatir.

Kritikan Prabowo terkait vonis ringan ini mengarah pada kasus Harvey Moeis, di mana hakim hanya memberikan vonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi timah senilai Rp 300 triliun.

Berita Rekomendasi

 Menanggapi hal itu, Fickar mengusulkan agar majelis hakim yang menangani kasus tersebut diperiksa, karena ada kekhawatiran bahwa putusan tersebut mengandung intervensi non-yuridis.

"Majelis hakimnya juga perlu diperiksa. Seharusnya, tuntutan 12 tahun itu dihukum separuh tambah 10 persen, yakni sekitar 7,5 hingga 8 tahun. Saya curiga putusan ini ada sesuatu yang tidak beres, kemungkinan ada intervensi non-yuridis," tutup Fickar.

Sumber: Tribun Banten

 

 

Sumber: Tribun Banten
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas