3 Prajurit Penembak Bos Rental Diadili di Pengadilan Militer, Usman Hamid : Salahi 5 Kaidah Hukum
Usman mengatakan, semua warga negara yang terlibat masalah hukum mendapatkan perlakuan yang sama dari aparat penegak hukum
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid angkat bicara soal rencana tiga prajurit TNI Angkatan Laut (AL) tersangka kasus penembakan bos rental di Tangerang akan diadili melalui pengadilan militer.
Menurutnya hal itu kurang tepat dan menyalahi lima kaidah hukum.
“Status militer aktif yang dijadikan dasar Kapuspen TNI untuk mengatakan pelaku penembak bos rental di rest area KM 45 Tol Merak-Tangerang harus disidangkan di peradilan militer dan bukan peradilan umum adalah kurang tepat," kata Usman Hamid, Minggu (12/1/2025).
Kejadian itu, jelasnya merupakan suatu pelanggaran hukum pidana umum, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
"Pernyataan itu menyalahi lima kaidah hukum yang berlaku. Pertama, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.“ jelasnya.
Artinya, kata Usman semua warga negara yang terlibat masalah hukum mendapatkan perlakuan yang sama dari aparat penegak hukum.
Baca juga: Rekonstruksi Penembakan Bos Rental Mobil: 36 Adegan Diperagakan, Tak Ada Pengeroyokan
"Kedua, Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri menyatakan. Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.” terangnya.
Pasal ketiga lanjut Usman, Pasal 65 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI yang berbunyi prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer. Dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
"Keempat, Pasal 198 UU No. 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer menyatakan. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum," ungkapnya.
Kecuali lanjutnya apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
"Kelima, asas hukum yang berbunyi Lex Posterior Derogat Legi Priori yang artinya peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Dengan kata lain TAP MPR yang terbit pada tahun 2000 dan UU TNI yang terbit pada tahun 2004 mengesampingkan UU Peradilan Militer yang terbit pada tahun 1997," terangnya.
Memang benar kata Usman, akan lebih jelas jika UU Peradilan Militer direvisi sesuai amanat Pasal Pasal 74 UU TNI.
"Namun fakta bahwa revisi itu tidak terwujud selama 20 puluh tahun menunjukkan rendahnya kehendak baik negara untuk menegakkan asas equality before the law atau persamaan warga negara di hadapan hukum. Kalau pimpinan TNI bersikeras merujuk UU Peradilan Militer, bisa saja, tapi sebaiknya jangan mendahului keputusan Menteri (pertahanan) dengan persetujuan Menteri Kehakiman.” terangnya.
Dalih status militer aktif bagi anggota yang melakukan tindak pidana umum, menurutnya menunjukkan tidak adanya kesetaraan di muka hukum.
"Justru cenderung memperkuat sentimen di masyarakat bahwa ada kekebalan hukum bagi warga negara berstatus militer. Ini tidak adil terutama bagi keluarga korban dan harus diakhiri.” tandasnya.
Diberitakan Kompas.com Markas Besar (Mabes) TNI menegaskan, tiga prajurit TNI Angkatan Laut (AL) yang menjadi tersangka kasus penembakan bos rental di Tangerang tetap akan diadili melalui pengadilan militer.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.