Catatan HAM 100 Hari Pemerintahan Presiden Prabowo, Amnesty International : Melanjutkan Kemunduran
Usman Hamid mengatakan, pemerintahan baru tampak masih tidak mau paham pentingnya hak asasi manusia
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia mengungkapkan kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di 100 hari pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran tak mengalami kemajuan berarti dan melanjutkan kemunduran sebelumnya.
Selama periode 20 Oktober 2024 hingga 20 Januari 2025 Amnesty International menilai seratus hari pertama diwarnai oleh berbagai pelanggaran HAM. Pelanggaran itu dibenarkan oleh kebijakan, keputusan, dan komentar pejabat publik.
Kemunduran ini sebagian besar merupakan kelanjutan dari kemunduran pemerintahan Jokowi. Besar kemungkinan situasi HAM ini akan memburuk bila tak ada perbaikan.
“Pemerintahan baru tampak masih tidak mau paham pentingnya HAM. Padahal pendiri bangsa-bangsa di dunia menjunjung tinggi hak asasi manusia baik kebebasan politik maupun keadilan sosial. Tanpa niat baik, ini bisa mengulangi kegagalan pemerintahan sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya Jumat (24/1/2025).
Tidak heran, dikatakan Usman Hamid banyak dari pelanggaran HAM yang terjadi adalah kelanjutan era dahulu. Kegagalan menghentikannya adalah pelanggaran HAM tersendiri. Ibarat melangkah, mundur 100 hari dengan prediksi kemunduran yang terbaca ke depan.
Baca juga: Amnesty International Sebut Bebasnya Septia Jadi Langkah Maju Kebebasan Berekspresi
“Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer saat menjelaskan kemunduran Majapahit, ini adalah ‘arus balik’ yang menandai kemunduran HAM di 100 hari pemerintahan baru,” lanjut Usman.
Penyangkalan Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu
Kemunduran HAM 100 hari pertama pemerintahan baru ini tidak sulit untuk dilacak. Hari pertama bertugas Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, membuat komentar keliru. Tidak pernah terjadi pelanggaran berat HAM di Indonesia bahkan menyatakan peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
Meski kemudian meralat, ia berkelit dengan mengatakan pemerintah berfokus melihat ke depan, tidak ke masa lalu.
“Itu mencerminkan ketiadaan pemahaman hukum yang benar, bahkan penyangkalan atas pelanggaran HAM masa lalu dengan dalih tak mau melihat ke belakang. Padahal jalan pemahaman sejarah masa lalu yang adil mutlak diperlukan untuk menatap masa depan yang benar,” tegas Usman.
Tak heran jika pelanggaran HAM di masa kini, menurutnya tak mendapat perhatian serius negara.
"Ini awal yang buruk bagi kondisi HAM di 100 hari pertama maupun 5 tahun ke depan. Berbagai kasus selama periode 100 hari pertama adalah ‘kartu kuning’ pemerintahan baru. Masalah ini sudah serius. Pemerintah harus menjadikan penegakan HAM sebagai prioritas demi memastikan Indonesia bergerak maju, bukan mundur,” kata Usman.
Meski membentuk Kementerian HAM, Pemerintah dan DPR baru tak membuat langkah apa pun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan Pemerintah menyangkal terjadinya pelanggaran berat HAM.
Padahal sederet pelanggaran berat HAM masa lalu seperti tragedi 1965, penculikan dan penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II 1998/1999, dan pembunuhan Munir 2004, masih tanpa kejelasan. Ketiadaan langkah negara memperkuat impunitas pelaku dan dapat menciptakan preseden terulangnya kasus serupa di masa depan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.