DKPP Minta KPU dan Bawaslu Segera Ganti Penyelenggara Pemilu yang Diberhentikan
Heddy meminta KPU dan Bawaslu segera mengganti penyelenggara pemilu yang telah diberhentikan karena melanggar kode etik.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Malvyandie Haryadi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera mengganti penyelenggara pemilu yang telah diberhentikan karena melanggar kode etik.
Langkah ini dinilai penting agar Pemungutan Suara Ulang (PSU) berjalan tanpa pelanggaran etik.
Pernyataan tersebut disampaikan Heddy dalam Rapat Kerja Persiapan dan Kesiapan Pemilihan Ulang Kepala Daerah Tahun 2024 di DPR RI, Jakarta, Senin (10/3/2025).
Rapat tersebut dihadiri perwakilan dari DKPP, KPU, Bawaslu, Komisi II DPR, dan Kementerian Dalam Negeri.
"Semua penyelenggara pemilu yang telah diberhentikan DKPP, baik dari jajaran KPU maupun Bawaslu, harus segera dieksekusi agar PSU tidak menyisakan pelanggaran etik di tingkat kabupaten/kota dan provinsi," tegas Heddy.
Sejumlah kasus pemberhentian penyelenggara pemilu yang berkaitan dengan Pilkada 2024 telah diputus oleh DKPP.
Beberapa di antaranya adalah tiga anggota KPU Kota Palopo yang diberhentikan dalam perkara nomor 287-PKE-DKPP/XI/2024, serta empat anggota KPU Kota Banjarbaru dalam perkara nomor 25-PKE-DKPP/I/2025.
Heddy juga mengingatkan agar penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc yang telah diberhentikan tidak lagi dilibatkan dalam PSU. Menurutnya, mereka terbukti bermasalah dan melanggar kode etik.
“Ada PSU yang hanya dilakukan di beberapa TPS saja, tetapi ternyata KPPS-nya bermasalah dan terbukti melanggar, sehingga harus diberhentikan,” ungkapnya.
Sepanjang 2025, DKPP telah memutus 49 perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Dari jumlah tersebut, 31 perkara diregistrasi pada 2024, sementara 18 lainnya pada 2025. Saat ini, DKPP masih menangani 81 perkara dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
“Masih ada 81 perkara dalam proses administrasi maupun kelengkapan bukti. Perkara-perkara ini muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Heddy.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.