Polemik Revisi UU TNI, Istana: Kita Tidak Boleh Dibentur-benturkan
Prasetyo Hadi klarifikasi isu revisi UU TNI yang dituduh kembalikan dwi fungsi.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Istana Kepresidenan RI melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi buka suara soal isu revisi UU TNI yang disebut bakal mengembalikan dwi fungsi ABRI.
Ia meminta publik untuk lebih teliti dalam memahami isi revisi UU TNI.
"Pertama, begini ya kalau menurut kami, ya semua harus lebih teliti lagi di dalam memahami isi dari yang sekarang beredar ini kan rancangan dim revisi UU TNI," kata Prasetyo di Kementerian PAN RB Jakarta, Senin (17/3/2025).
Menurut Prasetyo, jangan sampai apa yang dipermasalahkan terkait revisi UU TNI tersebut justru sebenarnya tidak ada dalam pembahasan revisi yang sedang dilakukan pemerintah dan DPR.
"Jadi, jangan juga apa yang dipolemikan itu sesungguhnya tidak ada di dalam pembahasan.
Nah yang begini-begini kita harus waspada, kita harus berhati-hati betul. Kita tidak boleh dibenturkan," katanya.
Prasetyo meminta agar tidak ada pernyataan-pernyataan yang seolah-olah ada dikotomi antara TNI dengan sipil.
Menurutnya, TNI adalah institusi milik bangsa dan negara Indonesia.
"Bagaimanapun, mohon maaf, revisi UU TNI apapun itu. TNI adalah institusi milik kita, milik bangsa dan negara kita, yang siapapun itu berkewajiban menjaga institusi TNI.
Jadi, tolonglah untuk tidak mengeluarkan statement statement yang seolah-olah ada dikotomi, kemudian disampaikan juga kepada masyarakat bahwa ini kembali akan ada dwi fungsi ABRI. Tidak begitu," pungkasnya.
Sebelumnya, sebanyak 21 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI pada 11 Maret 2025.
Koalisi memandang dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme.
Koalisi masyarakat sipil sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak urgent karena UU TNI Nomor 34 tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional, sehingga belum perlu diubah.
Menurut Koalisi, yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997.
Aturan tersebut menurut Koalisi perlu diubah agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi.
Koalisi menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah.
Perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwi fungsi TNI.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.