Pengesahan RUU TNI Dinilai sebagai Pukulan Telak bagi Demokrasi dan Supremasi Sipil
Pengesahan revisi UU TNI oleh DPR merupakan pukulan telak bagi demokrasi, supremasi sipil, dan amanat Reformasi 1998.
Penulis: Reza Deni
Editor: Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Para Syndicate mengecam pengesahan revisi UU TNI oleh DPR RI pada Kamis (20/3/2025) lalu.
Menurut peneliti Para Syndicate Virdika, hal tersebut merupakan pukulan telak bagi demokrasi, supremasi sipil, dan amanat Reformasi 1998, sekaligus bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis yang berbasis supremasi sipil.
Virdi menyampaikan sejumlah alasannya. Pertama demokrasi backsliding atau demokrasi dikikis lewat legislasi otoriter.
"Demokrasi tidak selalu dihancurkan oleh kudeta militer atau pembubaran parlemen, tetapi sering kali dikikis dari dalam melalui regulasi yang tampak sah secara hukum, namun melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri," kata Virdi dalam pesan yang diterima Tribunnews, Jumat (21/3/2025).
Dia menilai pengesahan revisi UU TNI ini merupakan contoh nyata dari autogolpe atau self-coup—proses di mana sebuah pemerintahan mengkudeta diri sendiri melalui instrumen hukum untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu.
"Dalam hal ini, supremasi sipil dikorbankan demi kepentingan elite politik dan militer," kata dia.
Baca juga: Empat Polisi Luka Bakar saat Ricuh Unjuk Rasa Tolak Pengesahan RUU TNI di DPR
Lebih lanjut, dia bicara soal proses legislasi yang cacat, tertutup, elitis, dan tidak demokratis.
"Pengesahan revisi ini dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip deliberasi demokratis. Tidak ada konsultasi publik yang memadai, proses legislasi berlangsung secara diam-diam, dan naskah akademiknya hanya terdiri dari 28 halaman dengan kepustakaan hanya satu halaman—indikasi nyata bahwa kebijakan ini dipaksakan tanpa kajian mendalam," kata dia
Dia mengatakan lebih ironis lagi, pembahasan dilakukan di hotel bintang lima, di bawah penjagaan ketat pasukan Kopassus, seakan-akan ini adalah operasi militer, bukan penyusunan regulasi sipil yang seharusnya transparan dan akuntabel.
Virdika juga menyoroti soal perluasan lembaga sipil yang bisa diduduki prajurit aktif TNI.
Dalam reformasi 1998, Virdika mengatakan secara tegas memisahkan ranah sipil dan militer dengan menghapus dwifungsi ABRI.Namun, dengan pengesahan revisi UU TNI ini, perwira aktif dapat menduduki jabatan di lebih banyak lembaga strategis, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung—dua institusi yang seharusnya independen dari intervensi kekuatan bersenjata.
"Ini bukan sekadar pelanggaran prinsip demokrasi, tetapi langkah nyata menuju militerisasi birokrasi sipil yang bertentangan dengan konstitusi dan semangat Reformasi," kata dia.
Karena itu pulalah, pemerintah dan DPR dinilai Virdika telah melakukan pengkhianatan total terhadap amanat reformasi, sebab reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang menghapus dominasi militer dalam politik dan pemerintahan sipil.
"Pengesahan revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat yang telah mengorbankan nyawa dan darah demi demokrasi yang sehat. Dengan ini, Indonesia kembali ke pola lama di mana kekuatan bersenjata memiliki pengaruh dominan dalam pengambilan keputusan strategis negara," kata dia.

Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.