Serba-serbi Kritik usai RUU TNI Ketok Palu Disahkan: Legislasi Cacat, Pasal Karet, Kepongahan Negara
Inilah serba-serbi kritik dari para pengamat usai RUU TNI resmi disahkan oleh DPR RI menjadi UU, Kamis (20/3/2025).
Penulis: garudea prabawati
Editor: Siti Nurjannah Wulandari

TRIBUNNEWS.COM - Berbagai macam kritik dari para ahli dan pengamat menggaung usai Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) resmi disahkan menjadi undang-undang (UU).
Diketahui DPR RI resmi menetapkan RUU TNI menjadi UU lewat sidang paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Dalam sidang tersebut dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa.
Para pengamat pun mengutarakan kritik mereka, menganggap tidak ada urgensi dari pengesahan RUU TINI menjadi UU.
Ada juga yang menyoroti bahwa agenda revisi RUU TNI dikhawatirkan akan berpotensi membangkitkan Dwifungsi ABRI.
Termasuk kritik yang menyebut bahwa Revisi UU TNI merupakan langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.
Para Syndicate: Proses Legislasi Cacat, Tertutup, Elitis, dan Tidak Demokratis
Peneliti Para Syndicate Virdika, mengatakan pengesahan RUU TNI menjadi UU melewati proses legislasi yang cacat, tertutup, elitis, dan tidak demokratis.
"Pengesahan revisi ini dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip deliberasi demokratis. Tidak ada konsultasi publik yang memadai, proses legislasi berlangsung secara diam-diam, dan naskah akademiknya hanya terdiri dari 28 halaman dengan kepustakaan hanya satu halaman—indikasi nyata bahwa kebijakan ini dipaksakan tanpa kajian mendalam," kata dia Jumat (21/3/2025).
Dia mengatakan lebih ironis lagi, pembahasan dilakukan di hotel bintang lima, di bawah penjagaan ketat pasukan Kopassus, seakan-akan ini adalah operasi militer, bukan penyusunan regulasi sipil yang seharusnya transparan dan akuntabel.
Virdika juga mengatakan pengesahan RUU TNI merupakan pukulan telak bagi demokrasi, supremasi sipil, dan amanat Reformasi 1998, sekaligus bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis yang berbasis supremasi sipil.
Baca juga: Persaudaraan Tani Nelayan Indonesia Yakin Disahkannya RUU TNI Bakal Perkuat Kedaulatan Negara
"Demokrasi tidak selalu dihancurkan oleh kudeta militer atau pembubaran parlemen, tetapi sering kali dikikis dari dalam melalui regulasi yang tampak sah secara hukum, namun melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri," kata Virdi dalam pesan yang diterima Tribunnews,
Dia menilai pengesahan revisi UU TNI ini merupakan contoh nyata dari autogolpe atau self-coup, proses di mana sebuah pemerintahan mengkudeta diri sendiri melalui instrumen hukum untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu.
"Dalam hal ini, supremasi sipil dikorbankan demi kepentingan elite politik dan militer," kata dia.
SETARA Institute: RUU Perampasan Aset Lebih Urgen
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menilai daripada mengesahkan RUU TNI, pemerintah alangkah lebih bijak untuk bisa segera membahas RUU Perampasan Aset.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.