Pakar Hukum Soroti Potensi Bahaya Penambahan Kewenangan Intelijen dalam Revisi UU Kejaksaan
Ia menegaskan bahwa fungsi intelijen Kejaksaan seharusnya terbatas pada konteks pro justicia, yaitu hanya terkait dengan penegakan hukum yang sah, dan
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) menuai kritikan keras dari para pakar dan praktisi hukum terkait penambahan kewenangan intelijen di dalamnya. Banyak yang menganggap perubahan ini berpotensi membahayakan penegakan hukum dan mengancam prinsip demokrasi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Valerianus Beatae Jehanu, menilai penambahan kewenangan jaksa dalam mengawasi media sebagai langkah yang keliru.
Ia menegaskan bahwa fungsi intelijen Kejaksaan seharusnya terbatas pada konteks pro justicia, yaitu hanya terkait dengan penegakan hukum yang sah, dan bukan untuk mengawasi ruang media secara bebas.
Jika tidak diatur dengan ketat, maka kewenangan intelijen ini membuka celah untuk penyalahgunaan kekuasaan.
"Fungsi intelijen Kejaksaan dalam penegakan hukum ini keliru karena harusnya hanya bisa dalam hal pro justicia," ujar Valerianus dalam diskusi publik di Jakarta pada Kamis (20/3/2025).
Selain itu, ia juga mengkritik lemahnya kontrol terhadap Korps Adhyaksa dalam revisi ini.
Menurutnya, ketentuan yang memungkinkan jaksa dipanggil atau diperiksa hanya dengan izin Jaksa Agung berpotensi menciptakan impunitas dan mengurangi akuntabilitas lembaga tersebut.
"Kontrol Kejaksaan semakin lemah karena jaksa hanya bisa dipanggil dan diperiksa atas izin Jaksa Agung," tegasnya.
Baca juga: Mabes TNI Ungkap Ada 4.472 Prajurit di Instansi Sipil, Anggota di Luar 14 K/L Akan Ditarik Mundur
Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure, Awan Puryadi, menyebut penambahan kewenangan intelijen ini sebagai ancaman serius bagi sistem hukum dan demokrasi.
Ia mengkhawatirkan penyalahgunaan kewenangan tersebut, seperti memanggil pihak-pihak tertentu tanpa dasar penyelidikan yang jelas, yang tidak bisa digugat melalui praperadilan.
Awan menceritakan contoh kasus di Padang Sidempuan, di mana 43 guru honorer yang baru diangkat jadi PNS dipanggil oleh kejaksaan hanya berdasarkan informasi yang diduga terkait korupsi.
"Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu," jelasnya.
Awan juga menyoroti kewenangan penghentian kasus di luar proses pengadilan atau melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) yang sangat rentan disalahgunakan.
Ia khawatir, dengan kewenangan tersebut, kejaksaan bisa menghentikan kasus-kasus besar, seperti illegal mining, dengan alasan RJ yang tidak jelas.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.